Rabu, 16 Februari 2011

Corporate Governance Dan Profitabilitas; Pengaruhnya Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (EKN-123)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) merupakan sebuah gagasan yang menjadikan perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines yaitu juga memperhatikan masalah sosial dan lingkungan (Daniri, 2008a).




Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja sehingga teralienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya. CSR Asia seperti dikutip Darwin (2008) memberikan definisi CSR sebagai berikut; CSR is a company’s commitment to operating in an economically, socially and environmentally sustainable manner whilst balancing the interests of diverse stakeholders. Utama (2007) menyatakan bahwa perkembangan CSR terkait dengan semakin parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia maupun dunia, mulai dari penggundulan hutan, polusi udara dan air, hingga perubahan iklim.

Sejalan dengan perkembangan tersebut, Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diterbitkan dan mewajibkan perseroan yang bidang usahanya di bidang atau terkait dengan bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Undang-Undang tersebut (Pasal 66 ayat 2c) mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan pelaksanaan tanggung jawab social dan lingkungan dalam Laporan Tahunan. Pelaporan tersebut merupakan pencerminan dari perlunya akuntabilitas perseroan atas pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan, sehingga para stakeholders dapat menilai pelaksanaan kegiatan tersebut. CSR dalam undang-undang tersebut (Pasal 1 ayat 3) dikenal dengan istilah tanggung jawab sosial dan lingkungan yang diartikan sebagai komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Fenomena perkembangan isu CSR secara khusus dibahas oleh majalah MIX edisi 16 Oktober 2006. Menurut penelusurannya, dalam lima tahun terakhir ini istilah CSR sangat popular di Indonesia. Banyak perusahaan antusias menjalankan karena beberapa hal, antara lain; dapat meningkatkan citra perusahaan, dapat membawa keberuntungan perusahaan, dan dapat menjamin keberlangsungan. Warta Ekonomi pada tahun 2006 melaporkan bahwa perusahaan semakin menyadari pentingnya menerapkan program CSR sebagai bagian dari strategi bisnisnya. Survey global yang dilakukan oleh The Economist Intelligence Unit menunjukkan bahwa 85% eksekutif senior dan investor dari berbagai organisasi menjadikan CSR sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan.

Daniri (2008b) menyatakan bahwa pelaksanaan CSR di Indonesia sangat tergantung pada pimpinan puncak korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak selalu dijamin selaras dengan visi dan misi korporasi. Jika pimpinan perusahaan memiliki kesadaran moral yang tinggi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang benar. Sebaliknya, jika orientasi pimpinannya hanya berkiblat pada kepentingan kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR hanya sekadar kosmetik. Daniri (2008c) menyebutkan bahwa pemahaman perusahaan tentang konsep CSR masih beragam yang salah satunya disebabkan minimnya literatur yang ada. Hal senada juga diungkapkan Miranty dalam tulisannya di majalah MIX edisi 16 Oktober 2006. Sampai saat ini, pemahaman mengenai CSR masih belum merata. Banyak perusahaan yang menjadikan karitas (charity) sebagai bentuk CSR mereka. Padahal CSR seyogyanya merupakan kebijakan strategis dengan tujuan jangka panjang dan dilaksanakan secara berkesinambungan.

Utama (2007) mengungkapkan bahwa saat ini tingkat pelaporan dan pengungkapan CSR di Indonesia masih relatif rendah. Selain itu, apa yang dilaporkan dan diungkapkan sangat beragam, sehingga menyulitkan pembaca laporan tahunan untuk melakukan evaluasi. Pada umumnya yang diungkapkan adalah informasi yang sifatnya positif mengenai perusahaan. Laporan tersebut menjadi alat public relation perusahaan dan bukan sebagai bentuk akuntabilitas perusahaan ke publik. Dan hingga kini belum terdapat kesepakatan standar pelaporan CSR yang dapat dijadikan acuan bagi perusahaan dalam menyiapkan laporan CSR. (www.ui.edu). Syafrani (2007) menyatakan bahwa pengaturan CSR dalam pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 menimbulkan kontroversi. (www.legalitas.org).

Darwin (2007) dalam Novita dan Djakman (2008) menyatakan bahwa pengungkapan kinerja lingkungan, sosial, dan ekonomi di dalam laporan tahunan atau laporan terpisah adalah untuk mencerminkan tingkat akuntabilitas, responsibilitas, dan transparansi korporat kepada investor dan stakeholders lainnya. Pengungkapan tersebut bertujuan untuk menjalin hubungan komunikasi yang baik dan efektif antara perusahaan dengan publik dan stakeholders lainnya tentang bagaimana perusahaan telah mengintegrasikan corporate social responsibilty (CSR): - lingkungan dan sosial - dalam setiap aspek kegiatan operasinya. Selain itu, perusahaan juga dapat memperoleh legitimasi dengan memperlihatkan tanggung jawab sosial melalui pengungkapan CSR dalam media termasuk dalam laporan tahunan perusahaan (Oliver, 1991; Haniffa dan Coke, 2005; Ani, 2007). Kiroyan (2006) dalam Sayekti dan Wondabio (2007) menyatakan bahwa dengan menerapkan CSR, diharapkan perusahaan akan memperoleh legitimasi sosial dan memaksimalkan kekuatan keuangannya dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang menerapkan CSR mengharapkan akan direspon positif oleh para pelaku pasar.

Belkaoui (1989) dalam Anggraini (2006), menemukan hasil (1) pengungkapan sosial mempunyai hubungan yang positif dengan kinerja sosial perusahaan yang berarti bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas sosial akan mengungkapkannya dalam laporan sosial, (2) ada hubungan positif antara pengungkapan sosial dengan visibilitas politis, dimana perusahaan besar yang cenderung diawasi akan lebih banyak mengungkapkan informasi sosial dibandingkan perusahaan kecil, (3) ada hubungan negatif antara pengungkapan sosial dengan tingkat financial leverage, hal ini berarti semakin tinggi rasio utang/modal semakin rendah pengungkapan sosialnya karena semakin tinggi tingkat leverage maka semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit. Sehingga perusahaan harus menyajikan laba yang lebih tinggi pada saat sekarang dibandingkan laba di masa depan. Supaya perusahaan dapat menyajikan laba yang lebih tinggi, maka perusahaan harus mengurangi biaya-biaya (termasuk biaya-biaya untuk mengungkapkan informasi sosial).

Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial di Indonesia memunculkan hasil yang beragam. Sembiring (2003) menghasilkan temuan bahwa profitabilitas tidak terbukti berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Variabel ukuran perusahaan terbukti signifikan berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Penelitian Sembiring (2005) menunjukkan hasil yang hampir sama. Variabel independen yang diteliti adalah profitabilitas, size, leverage, ukuran dewan komisaris dan profile. Hasilnya menunjukkan bahwa variabel profitabilitas dan leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Variabel lainnya (ukuran dewan komisaris, size, dan profile) menunjukkan pengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR.

Anggraini (2006) dalam penelitiannya menunjukkan hasil yang berbeda. Profitabilitas dan size perusahaan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan informasi sosial. Variabel prosentase kepemilikan manajemen dan tipe industri terbukti mempunyai hubungan positif signifikan. Temuan ini sejalan dengan hasil yang diperoleh Hackston dan Milne (1996) dalam Anggraini (2006) yang tidak berhasil menemukan hubungan profitabilitas dengan pengungkapan informasi sosial. Reverte (2008) serta Branco dan Rodriguez (2008) juga menemukan hasil yang sama, yaitu profitabilitas tidak terbukti signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan CSR.

Hasil penelitian Sembiring (2003 dan 2005) dan Anggraini (2006) di atas berbeda dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Roberts (1992) dan Gray dkk. (1999) dalam Parsa dan Kouhy (1994) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengungkapan sosial dengan profitabilitas. Penelitian Parsa dan Kouhy (1994) menunjukkan bahwa profitabilitas perusahaan yang diukur dengan proksi trading profit margin menunjukkan hubungan positif terhadap pengungkapan sosial. Hossain dkk (2006) juga menemukan hasil yang sama. Profitabilitas (dengan proksi net profit margin) mempunyai pengaruh signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Dan faktor tipe industri juga terbukti signifikan berpengaruh positif.

Farook dan Lanis (2005) menemukan bahwa faktor size tidak terbukti berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Sementara Novita dan Djakman (2008) menemukan hasil berbeda, bahwa size perusahaan terbukti berpengaruh signifikan. Parsa dan Kouhy (2007) melakukan penelitian tentang pengungkapan informasi sosial oleh perusahaan kecil dan menengah (UMKM) yang terdaftar pada Alternative Investment Market (AIM) Inggris menghasilkan temuan bahwa size brkorelasi positif terhadap pengungkapan CSR. Hasil yang sama juga diperoleh Reverte (2008) dan Branco dan Rodriguez (2008), yaitu bahwa size berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR.

Penelitian tentang pengungkapan tanggung jawab sosial juga dikaitkan dengan corporate governance. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mendefinisikan corporate governance sebagai sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Menilik definisi tersebut, bahwa corporate governance merupakan system yang dapat memberikan arahan dan kendali agar perusahaan melaksanakan dan mengungkapkan aktivitas CSRnya.

Penelitian tentang kaitan corporate governance dengan pengungkapan CSR dilakukan oleh Novita dan Djakman (2008) dan juga dilakukan oleh Farook dan Lanis (2005) dengan sampel bank Islam di seluruh dunia. Farook dan Lanis (2005) menemukan bahwa islamic governance (sebagai proksi corporate governance di bank Islam) terbukti berpengaruh positif secara signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Novita dan Djakman (2008) menemukan hasil bahwa kepemilikan institusional tidak mempengaruhi luas pengungkapan CSR. Hal ini senada dengan hasil penelitian Barnae dan Rubin (2005) yang menyebutkan bahwa kepemilikan institusional tidak memiliki hubungan dengan pengungkapan CSR. Demikian juga dengan variabel kepemilikan asing yang tidak terbukti berpengaruh signifikan.
◄ Newer Post Older Post ►