BANDUNG, BB --- Budi daya ikan pada keramba jaring apung (KJA) yang dikelola para petani di bendungan PLTA Saguling dan Cirata, cenderung terus merugi, akibat limbah industri dan rumah tangga yang dibuang ke Sungai Citarum yang menjadi sumber air kedua bendungan. Budi daya KJA merupakan kebijakan alternatip setelah warga yang lahan dan permukimannya tergenang kedua pembangkit listrik itu, menolak bertransmigrasi.
PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Saguling yang dibangun tahun 1985, menggenang lahan seluas 6.300 hektar dengan jumlah penduduk yang harus meninggalkan area tsb lebih dari 10.000 kepala keluarga. Kemudian PLTA Cirata dibangunan pada tahun 1988 dengan luas areal sekitar 6.700 hektar dengan jumlah penduduk yang harus meninggalkan kampung halamannya sebanyak 27.800 orang atau sekitar 6.335 KK.
Dr.Ir Kusnadi Wikarta, peneliti dari Fakultas Pertanian Unpad kepada BB yang menghubunginya mengatakan, kebijakan pemerintah untuk memukimkan penduduk yang terkena dampak proyek tersebut antara lain melalui transmigrasi. Namun hanya 3% yang terkena proyek PLTA Saguling yang bersedia transmigrasi, sementara yang terkena PLTA Cirata hanya 11 % yang bersedia . Mereka sebagian besar memilih bermukim di daerah sekitar bendungan.
Untuk mengatasi permasalah itu, pihak PLN merekomendasikan untuk menjadikan area genangan sebagai sumber penghidupan melalui pengembangan perikanan tangkap (fish capture) dan budi daya ikan keramba jaring terapung (floating net cage aquaculture).
Menurut Kusnadi, KJA sejalan dengan program pemerintah tentang revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan. Idealnya program itu untuk mendorong kesejahteraan rakyat. Limbah industri, rumah tangga yang dibuang ke aliran sungai dan bermuara di bendungan Saguling dan Cirata berpengaruh terhadap kualitas air yang berdampak pada produksi ikan. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, dari sekitar 12.000 KJA hanya mampu berproduksi antara 3.000 sampai 4000 ton/tahun, sedang sebelumnya mampu menghasilkan antara 5000 – 8000 ton/tahun. Turunnya kualitas air akibat tercemar limbah, petani melakukan alih pengembangan ikan. Semula dikembangkan ikan emas, tapi karena jenis ikan ini kurang kuat, petani melakukan adaptasi usaha dengan mengembangkan ikan nila, patin, lele, gurame dan ikan boboso. Jenis ikan ini agak tahan hidup pada kualitas air yang tercemar limbah.
Dari penjualan jenis ikan terebut , petani masih bisa mendapatkan hasil rata-rata antara Rp 700.000,00 sampai Rp 1.250.000,00/kolam ukuran 7x 7 x 2,5 meter.
Para petani ikan di area bendungan Saguling dan Cirata, sebagian besar meninggalkan usahanya. “Untuk mempertahankan usahanya, petani melakukan pengurangan jumlah penebaran bibit. Selain mengganti penebaran ikan emas dengan jenis ikan yang tahan terhadap pencemaran,” tutur Kusnadi Wikarta.
Beban Pencemaran Meningkat .
Menjawab pertanyaan tentang beban pencemaran yang masuk ke bendungan Saguling dan Cirata, Kusnadi Wikarta mengemukakan, pencemaran air bendungan Saguling dan Cirata ada beberapa penyebabnya. Diantaranya, pencemaran yang berasal dari pakan ikan serta dari luar (aliran air ) yang masuk ke bendungan berupa limbah industri, limbah pasar, pertanian dan limbah rumah tangga (cair dan sampah). Pencemaran dari sungai berasal dari daerah aliran sungai (DAS) Citarik, Cikapundung, Cisarea. Cisangkuy, Ciwidey, Cihaur dan Ciminyak.
Berdasar hasil penelitiannya Kusnadi memperkirakan, potensi limbah/sampah yang masuk ke perairan PLTA Saguling khususnya, akan terus meningkat. Tendensi itu mulai terdeteksi sejak tahun 2000, jumlah limbah/sampah mencapai 360.904 m2/tahun. Dan tahun 2010 lalu mencapai 6.862.643 m2/tahun
Keterangan yang diperoleh BB, dari sekitar 500 industri, 80% berada di kawasan DAS Citarum, tersebar di wilayah Bandung Timur, Majalaya, Banjaran dan Cimahi. Kurang lebih 75 % adalah industri tekstil, lainnnya berupa industri makanan/minuman, farmasi , industri logam, rumah sakit dan rumah potong hewan.
PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Saguling yang dibangun tahun 1985, menggenang lahan seluas 6.300 hektar dengan jumlah penduduk yang harus meninggalkan area tsb lebih dari 10.000 kepala keluarga. Kemudian PLTA Cirata dibangunan pada tahun 1988 dengan luas areal sekitar 6.700 hektar dengan jumlah penduduk yang harus meninggalkan kampung halamannya sebanyak 27.800 orang atau sekitar 6.335 KK.
Dr.Ir Kusnadi Wikarta, peneliti dari Fakultas Pertanian Unpad kepada BB yang menghubunginya mengatakan, kebijakan pemerintah untuk memukimkan penduduk yang terkena dampak proyek tersebut antara lain melalui transmigrasi. Namun hanya 3% yang terkena proyek PLTA Saguling yang bersedia transmigrasi, sementara yang terkena PLTA Cirata hanya 11 % yang bersedia . Mereka sebagian besar memilih bermukim di daerah sekitar bendungan.
Untuk mengatasi permasalah itu, pihak PLN merekomendasikan untuk menjadikan area genangan sebagai sumber penghidupan melalui pengembangan perikanan tangkap (fish capture) dan budi daya ikan keramba jaring terapung (floating net cage aquaculture).
Menurut Kusnadi, KJA sejalan dengan program pemerintah tentang revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan. Idealnya program itu untuk mendorong kesejahteraan rakyat. Limbah industri, rumah tangga yang dibuang ke aliran sungai dan bermuara di bendungan Saguling dan Cirata berpengaruh terhadap kualitas air yang berdampak pada produksi ikan. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, dari sekitar 12.000 KJA hanya mampu berproduksi antara 3.000 sampai 4000 ton/tahun, sedang sebelumnya mampu menghasilkan antara 5000 – 8000 ton/tahun. Turunnya kualitas air akibat tercemar limbah, petani melakukan alih pengembangan ikan. Semula dikembangkan ikan emas, tapi karena jenis ikan ini kurang kuat, petani melakukan adaptasi usaha dengan mengembangkan ikan nila, patin, lele, gurame dan ikan boboso. Jenis ikan ini agak tahan hidup pada kualitas air yang tercemar limbah.
Dari penjualan jenis ikan terebut , petani masih bisa mendapatkan hasil rata-rata antara Rp 700.000,00 sampai Rp 1.250.000,00/kolam ukuran 7x 7 x 2,5 meter.
Para petani ikan di area bendungan Saguling dan Cirata, sebagian besar meninggalkan usahanya. “Untuk mempertahankan usahanya, petani melakukan pengurangan jumlah penebaran bibit. Selain mengganti penebaran ikan emas dengan jenis ikan yang tahan terhadap pencemaran,” tutur Kusnadi Wikarta.
Beban Pencemaran Meningkat .
Menjawab pertanyaan tentang beban pencemaran yang masuk ke bendungan Saguling dan Cirata, Kusnadi Wikarta mengemukakan, pencemaran air bendungan Saguling dan Cirata ada beberapa penyebabnya. Diantaranya, pencemaran yang berasal dari pakan ikan serta dari luar (aliran air ) yang masuk ke bendungan berupa limbah industri, limbah pasar, pertanian dan limbah rumah tangga (cair dan sampah). Pencemaran dari sungai berasal dari daerah aliran sungai (DAS) Citarik, Cikapundung, Cisarea. Cisangkuy, Ciwidey, Cihaur dan Ciminyak.
Berdasar hasil penelitiannya Kusnadi memperkirakan, potensi limbah/sampah yang masuk ke perairan PLTA Saguling khususnya, akan terus meningkat. Tendensi itu mulai terdeteksi sejak tahun 2000, jumlah limbah/sampah mencapai 360.904 m2/tahun. Dan tahun 2010 lalu mencapai 6.862.643 m2/tahun
Keterangan yang diperoleh BB, dari sekitar 500 industri, 80% berada di kawasan DAS Citarum, tersebar di wilayah Bandung Timur, Majalaya, Banjaran dan Cimahi. Kurang lebih 75 % adalah industri tekstil, lainnnya berupa industri makanan/minuman, farmasi , industri logam, rumah sakit dan rumah potong hewan.
(B-003) *** file : BISNIS BANDUNG ed. 7 bln. Februari 2011