1.1 Latar Belakang Masalah
Pasar modal sebagai pasar dari berbagai instrumen keuangan (sekuritas) jangka panjang yang dapat diperjualbelikan, menjalankan fungsi ekonomi dan keuangan yang dapat menunjang perkembangan ekonomi dan keuangan dalam suatu negara. Oleh karena itu, pasar modal juga merupakan indikator kemajuan perekonomian negara tersebut.
. Dalam melaksanakan fungsinya, pasar modal menjadi penghubung bagi pihak yang mempunyai kelebihan dana (investor) dan pihak yang membutuhkan dana (emiten) dalam tranksaksi pemindahan dana. Bagi investor, pasar modal dapat memberikan alternatif investasi yang lebih variatif sehingga memberikan peluang untuk meraih keuntungan yang lebih besar. Bagi emiten, pasar modal dapat memberikan sumber pendanaan lain untuk melakukan kegiatan operasional termasuk ekspansi usaha selain kredit perbankan. Modal yang diperjualbelikan dalam pasar modal terbagi menjadi dua, yaitu Debt Capital (modal hutang) dan Equity Capital (modal ekuitas).
Obligasi merupakan salah satu jenis modal hutang yang diperjualbelikan dalam pasar modal. Bursa Efek Indonesia (2010) mengartikan obligasi sebagai surat utang jangka menengah-panjang yang dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut. Dengan demikian obligasi dapat dikatakan sebagai salah satu instrumen pasar modal yang memberikan pendapatan tetap (fixed-income securities) bagi pemegang obligasi . Menurut Purwaningsih (2008) obligasi menarik bagi investor dikarenakan kelebihan dalam hal keamanannya bila dibandingkan dengan saham, yaitu (1) volatilitas saham lebih tinggi dibandingkan dengan obligasi sehingga daya tarik saham berkurang, dan (2) obligasi menawarkan tingkat return yang positif dan memberikan pendapatan yang tetap.
Seorang investor yang akan membeli obligasi hendaknya tetap memperhatikan default risk, yaitu peluang dimana emiten akan mengalami kondisi tidak mampu memenuhi kewajiban keuangannya (gagal bayar). Menurut Manurung dkk. (2008), obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah, biasanya mendapatkan peringkat obligasi investment grade (level A), dikarenakan pemerintah dianggap akan mampu untuk melunasi kupon dan pokok hutang saat obligasi jatuh tempo. Namun obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan (corporate bonds), terdapat default risk, yang bergantung pada kesehatan keuangan perusahaan emiten. Untuk menghindari risiko tersebut, investor harus memperhatikan beberapa hal, salah satunya adalah peringkat obligasi perusahaan emiten.
Peringkat obligasi menyatakan skala risiko atau tingkat keamanan suatu obligasi yang diterbitkan. Peringkat obligasi merupakan sarana pengawasan aktivitas manajemen (Foster, 1986: 501). Lebih lanjut, Raharja dan Sari (2008) mengungkapkan bahwa peringkat obligasi ini penting karena peringkat tersebut memberikan pernyataan yang informatif dan memberikan sinyal tentang probabilitas kegagalan hutang suatu perusahaan. Proses pemeringkatan berguna untuk menilai kinerja perusahaan dari berbagai faktor yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan keuangan perusahaan. Berdasar informasi peringkat obligasi, investor dapat mengetahui return yang akan diperoleh sesuai dengan risiko yang dimiliki obligasi tersebut. Peringkat obligasi yang diberikan oleh agen pemeringkat dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu investment grade (AAA, AA, A, dan BBB) dan non-investment grade (BB,B, CCC, dan D).
Peringkat obligasi diberikan oleh agen pemeringkat yang independen, obyektif, dan dapat dipercaya. Investor dapat menilai tingkat keamanan suatu obligasi dan kredibilitas obligasi berdasar informasi yang diperoleh dari agen pemeringkat. Agen pemeringkat yang terbesar dan terkenal di dunia adalah Moody’s dan Standard & Poor’s. Sedangkan di Indonesia terdapat agen pemeringkat sekuritas hutang yaitu PT PEFINDO (Pemeringkat Efek Indonesia).
Terdapat beberapa kejadian yang menimbulkan suatu pertanyaan apakah peringkat obligasi yang dinilai oleh agen pemeringkat di Indonesia akurat. Salah satunya pada peringkat obligasi Bank Global pada tahun 2004, dimana peringkat obligasi dinilai oleh agen pemeringkat Kasnic dengan A-, kemudian dengan pengumuman BI bahwa izin Bank Global dibekukan peringkat obligasi tersebut diturunkan menjadi D (default). Menurut Chan dan Jagadeesh (1999) dalam Amrullah (2007), salah satu alasan mengapa pemeringkat obligasi yang dikeluarkan oleh agen pemeringkat tersebut bias karena agen Moody’s dan S&P’s tidak melakukan monitor terhadap kinerja perusahaan setiap hari. Dengan demikian agen pemeringkat hanya dapat menilai setelah terjadinya suatu peristiwa yang menyebabkan perubahan peringkat.
Foster (1986) mengungkapkan faktor dapat yang dipertimbangkan agen pemeringkat dalam menentukan pemeringkat suatu obligasi diantaranya berbagai rasio keuangan, provisi indentiture agreements, perlindungan terhadap aset yang ada dan kualitas manajemen. Tidak terdapat penjelasan lebih lanjut dari agen pemeringkat bagaimana laporan keuangan dapat digunakan dalam menentukan peringkat obligasi. Hal ini yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai pemeringkatan obligasi dengan menggunakan rasio-rasio keuangan yang didasarkan pada laporan keuangan perusahaan, dengan anggapan bahwa laporan keuangan perusahaan lebih menggambarkan kondisi perusahaan. Analisis laporan keuangan yang berupa analisis rasio keuangan dan perhitungan statistik dapat dipergunakan untuk mendeteksi under or overvalued suatu sekuritas (Kaplan dan Urwitz, 1979 dalam Raharja dan Sari, 2008).
Penelitian terhadap rasio keuangan di Indonesia banyak dihubungkan dengan harga saham ataupun kinerja perusahaan. Sejumlah penelitian yang meneliti prediksi peringkat obligasi di Indonesia masih jarang dilakukan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan data obligasi serta pengetahuan para investor terhadap obligasi. Selain itu, Wansley et al. (1992, dalam Setyapurnama dan Norpratiwi) menyatakan bahwa sebagian besar perdagangan obligasi dilakukan melalui pasar negosiasi (over the counter market) dan secara historis tidak terdapat informasi harga yang tersedia pada saat penerbitan atau saat penjualan.
Dengan tidak tersedianya informasi tersebut membuat pasar obligasi menjadi tidak semeriah pasar saham.
Beberapa penelitian yang dapat ditemukan telah menguji rasio-rasio keuangan yang dapat memprediksi peringkat obligasi di Indonesia dan ditemukan berbagai hasil empiris yang berbeda. Nurhasanah (2003) menggunakan dua alat analisis yaitu Multiple Discriminant Analysis (MDA) dan Logistik untuk menguji
26 rasio keuangan dan mengambil sampel perusahaan manufaktur. Dengan 99 observasi obligasi, didapatkan variabel yang signifikan dalam memprediksi peringkat obligasi menggunakan MDA adalah LEVLTLTA, LEVNWTA, LIK CACL, SOLNWFA, dan PRODCGSS. Sementara itu, dengan regresi logistik, diperoleh rasio LEVLTLTA dan SOLNWFA yang memberikan hasil signifikan.
Kesumawati (2003) melakukan penelitian pengaruh utang obligasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi harga obligasi sebagai variabel terhadap yield premium obligasi. Dengan 6 variabel kontrol menggunakan 13 rasio keuangan, peneliti mengambil sampel dari agen PEFINDO periode 2000-2002 sebanyak 60 sampel. Dari alat analisis MDA yang digunakan peneliti diperoleh rasio keuangan TLTA, rata-rata umur piutang, ROA, fix asset turnover dan debt sebagai hasil yang signifikan mempengaruhi yield premium obligasi.
Sari (2004) melakukan penelitian yang membandingkan ketepatan penentuan peringkat obligasi dengan menggunakan lima rasio keuangan antara model yang diajukan dan penentuan peringkat yang dilakukan PEFINDO. Lima rasio keuangan tersebut adalah LEVLTLTA, LIKCAICL, SOLCFOTL, PROFOIS, dan PRODSFA. Hasilnya, kelima rasio tersebut memiliki kemampuan membentuk model untuk memprediksi peringkat obligasi. Ketepatan model yang diajukan peneliti lebih besar (69,6%) daripada PEFINDO (56,5%). Sari pada tahun 2008 kembali melakukan penelitian dengan menggunakan sampel tahun
2004-2005 pada agen Kasnic. Dengan 52 observasi sebagai sampel, diperoleh hasil yang signifikan pada rasio LTLTA, CACL, CFLTL, OIS, dan STA.
Aryanindita (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan 41 rasio keuangan dan setelah dilakukan analisis faktor untuk mendapatkan kejelasan mengenai proses yang tepat dan memberikan kontribusi, diperoleh 21 rasio keuangan yang terbagi menjadi 7 kelompok. Peneliti menggunakan analisis MDA dan sampel dari agen PEFINDO dan Kasnic periode 1995-2003. Hasil yang diperoleh rasio CACL, COIN CFTA, CATA, SLTA, NWTA, NWTL yang signifikan pada agen PEFINDO dan rasio CACL, COIN, SLAR, CLIN, SLCL, NITL yang signifikan pada agen Kasnic.
Penelitian ini merupakan replikasi penelitian Raharja dan Sari (2008). Proxy rasio keuangan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan proxy rasio keuangan yang signifikan pada penelitian Sari (2008), yaitu LTLTA, CACL, CFLTL, OIS, dan STA. Penelitian Raharja dan Sari merupakan penelitian terhadap peringkat obligasi pada agen pemeringkat Kasnic. Adanya dampak dari krisis global pada tahun 2008 berakibat pada penutupan kantor cabang Moodys d i Indonesia (Kasnic) pada tahun 2009, sehingga dilakukan penarikan secara nasional peringkat obligasi agen Kasnic. Berdasar hal tersebut perlu dilakukan pengujian kembali terhadap kemampuan prediksi rasio keuangan dalam penelitian Raharja dan Sari (2008) pada agen pemeringkat PEFINDO, agar dapat diperoleh informasi mengenai rasio keuangan yang mampu membentuk model prediksi peringkat obligasi yang lebih tepat dengan menggunakan data laporan keuangan terbaru tahun 2007-2008.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian ini mengambil judul ”Kemampuan Rasio Keuangan dalam Memprediksi Peringkat Obligasi Perusahaan di Indonesia”.