Sabtu, 19 Februari 2011

Mengapa Bangsa Asia Kalah Kreatif dari Bangsa Barat?

Prof. Ng Aik Kwang
Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya "Why Asians Are Less Creative Than Westerners" (2001) yang dianggap kontroversial tapi  ternyata menjadi "best seller". Mengemukakan beberapa hal tentang bangsa-bangsa Asia yang telah membuka mata dan pikiran  banyak orang.

English & Chinese Version
1. Bagi kebanyakan orang Asia, dalam budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki kekayaan banyak.

2. Bagi orang Asia, banyaknya  kekayaan yg dimiliki lebih dihargai daripada CARA memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai cerita, novel, sinetron atau film yang  bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku  koruptif pun ditolerir/ diterima sbg sesuatu yg wajar.

3. Bagi org Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan pada  pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT dan lain-lain semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut.

4. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu sedikit sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).

5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dalam  Olympiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya  yang berbasis inovasi dan kreativitas.

6. Orang Asia takut salah (KIASI) dan takut kalah (KIASU). Akibat-nya sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa  penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.

7. Bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.

8. Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru/narasumber untuk minta penjelasan tambahan.

Bila anda juga tertarik utk mengetahui lebih banyak silahkan search di Google atau pesan buku nya ke Amazon.com 

Prof. Ng Aik Kwang
Dalam bukunya Prof.Ng Aik Kwang menawarkan beberapa solusi sebagai berikut:

1. Hargai proses. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya.

2. Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid memahami bidang yang paling disukainya.

3. Jangan jejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar dikuasainya.

4. Biarkan anak memilih profesi berdasarkan PASSION (rasa cinta) nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang

5. Dasar kreativitas adalah rasa penasaran & berani ambil resiko. AYO BERTANYA!

6. Guru adalah fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya Mari akui dengan bangga kalau kita tidak tahu.

Mother and son firemaking. © WildWise Events
7. Passion manusia adalah anugerah Tuhan. Sebagai orang tua kita bertanggung-jawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passionnya dan mensupportnya. Mudah-mudahan dengan begitu, kita bisa memiliki anak-anak dan cucu yang kreatif, inovatif tapi juga  memiliki integritas dan idealisme tinggi tanpa korupsi.

*http://www.facebook.com/notes/khadija-soezmann
.
.
◄ Newer Post Older Post ►