Hasil kerja Ito, dipamerkan pada pertemuan kelompok tani seJabar di Desa Talagasari, Kecamatan Kawali, Ciamis, belum lama ini. Saat itu Ito memboyong tanaman padi dalam pot (parepot) hasil persilangannya pada setiap musim tanam (MT).
"Ini hasil kawin silang turunan kedelapan dari padi Jalawara dan padi gundul atau sriputih. Keduanya jenis padi lokal Indramayu," kata ayah empat anak yang kini tinggal di Dusun Kalensari RT 01/01, Desa Kalensari, Kecamatan Widasari ini.
Suami dari Ny Jamilah ini lantas bercerita, varietas unggulan turunan kedelapan atau biasa dikenal dengan F-8 itu tak didapatkannya dengan mudah. Itu hasil kerja kerasnya selama lima tahun. "Hasil dari 54 kali persilangan pada 10 kali musim tanam di tiga petak sawah seluas 500 tumbak di Dusun Kalensari," kata jebolan SMP ini.
Ito mengaku, bulir padi hasil setiap persilangan tersebut disimpannya secara khusus dalam bungkus plastik yang diberi etiket.
"Hasil F-8 ini cukup menggembirakan. Panjang malainya sampai 52 centimeter dengan jumlah bulir padi per malai mencapai 702 butir. Ini bulir padi yang paling banyak yang pernah saya temukan selama menjadi petani. Usia tanamnya 100 hari, lebih pendek dari usia padi normalnya yakni 115 hari. Keunggulan lainnya, padi ini tidak terlalu banyak membutuhkan air," papar Ito bangga.
Ito berharap, varietas hasil kawin silang yang dilakukannya selama 10 musim tanam tersebut bisa segera dipatenkan dan diluncurkan sebagai varietas unggul murni lokal.
"Kalau sudah memenuhi syarat, mudah-mudahan bisa digunakan sebagai varietas unggul nasional. Biasanya namanya mengambil nama sungai, seperti padi varietas Ciherang, Cisadane dan sebagainya," imbuh Ito.
Lantas, kenapa Ito begitu ngotot melakukan perkawinan silang antarpadi varietas lokal saat petani lainnya justru tidak peduli tentang hal tersebut?
Jawabannya ternyata sederhana. Sebagai petani yang ndeso, Ito pernah kecewa. "Saya dan sejumlah petani lain di Desa Kalensari pernah punya pengalaman buruk beli benih berlabel biru yang katanya sudah bersertifikat. Ternyata benih berlabel itu ketika ditanam, tumbuhnya macam-macam. Ada padi IR, ada padi lokal, ada padi beras merah. Pokoknya macam-macam. Padahal katanya itu benih bersertifikat," ujarnya.
Akhirnya, Ito yang saat itu aktif di kelompok tani di Dusun Kalensari dan Ikatan Petani Pengamat Hama Tanaman Indonesia (IPPHTI) di desanya itu pun banting stir. "Saya bukan hanya meninggalkan benih padi berlabel, tapi juga bertekad untuk menemukan jenis padi yang unggul dari varietas lokal yang hasilnya murni lokal," tegas Ito seraya mengaku bahwa pengetahuannya tentang penyerbukan ia dapatkan dari sekolah lapangan singkat di bawah bimbingan Dr Buang dari Balitbang Padi Sukamandi Subang.
"Berikutnya saya kerap diundang ke berbagai pameran, mengikuti pelatihan maupun kursus serta seminar. Termasuk kursus selama 4 hari di IPB pada tanggal 7 sampai 10 Juli 2007 lalu. Selesai kursus selama 4 hari di sekolah lapangan IPB tersebut saya mendapat sertifikat sebagai pemulia," kata Ito sembari memperlihat selembar sertifikat mirip ijazah sarjana yang ditandatangani oleh Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB Prof Dr Ir Bambang Sapto Purwoko MSc.
Di Indonesia kini hanya ada 6 orang yang punya sertifikat sebagai pemulia varietas padi. Dua orang berasal dari petani, sementara empat lainnya dari balai penelitian dan perguruan tinggi. "Petani lain yang jadi pemulia itu adalah Pak Warsiah. Ia rekan saya di Dusun Kalensari."
Berburu Hingga Kenekes
MESKI hanya tamatan SMP, dalam ilmu perpadian Ito Sumitro memang sudah pakar. Keahliannya mungkin setara dengan tamatan S-3 setingkat doktor.
Ito memang sosok petani tulen, kulitnya legam karena hampir setiap hari tersengat panas terik matahari ketika turun ke sawah. Orang tua Ito, dulunya memang pegawai PJKA tetapi sehari-harinya juga petani.
"Sekarang, murid-murid saya sudah banyak. Sekarang ada 500 petani yang mengikuti langkah saya," ujar Ito.
Ito mengaku, dengan profesinya sebagai pemulia, ia kerap berburu plasma nutfah ke berbagaio daerah. Ia melakukan secara khusus atau sembari mengikuti kegiatan lainnya. Bahkan ketika mengikuti kegiatan di Aceh, Ito pun sempat mendapat oleh-oleh benih padi lokal dari Tanah Rencong tersebut.
Ito mengaku, pernah sengaja datang ke Kanekes Banten untuk mendapatkan benih padi huma yang jadi andalan suku Baduy. "Di Banten, saya mendapatkan benih padi ketan item yang bagus. Ini juga akan saya kembangkan," tambahnya.
Setelah dilakukan percobaan di Indramayu, menurut Ito, padi ketan item asal Baduy tersebut tumbuh dengan baik dan hasil bagus. "Keunggulan lainnya, padi ketan item dari Baduy ini tahan kekurangan air".
Ia yakin, di kawasan adat lainnya seperti di Kampung Naga Tasikmalaya maupun Kampung Kuta di Ciamis masih tersimpan benih padi varietas setempat yang perlu ditelusuri keunggulannya, baik menyangkut hasil bulir, daya tahan, dan usianya sampai panen.
"Padi itu bukan tanaman air. Makanya jangan heran ada padi huma yang tumbuh subur di bukit-bukit tanpa pengairan. Kini sistem tanam padi dalam pot juga semakin berkembang. Jadi bertaman padi tak lagi harus di sawah, di halaman rumah pun bisa," ujar Ito yang oleh Dinas Pertanian Indramayu kini dipercaya mengelola lab pertanian di Kebulen.
"Di sana saya tak lagi juma menyilangkan padi, tapi juga sayuran lokal seperti emes, timun, paria, hingga jamur.