PANGKALPINANG | SURYA Online - sebagai sahabat, kesetiaan Nono (27) tak diragukan lagi. Mengetahui rekannya Taribi (19), sudah meninggal, sekuat tenaga dia memeluknya agar tak hanyut ke laut. Selama 18 jam, Nono menemani temannya yang sudah tak bernyawa itu di laut lepas.
Selama di tengah laut, hidup Nono dan dua rekan lainnya Sarno (39) dan Cipto (21) bergantung pada tutup kotak fiber (tempat menyimpan ikan). “Waktu itu saya sudah pasrah dan hanya berdoa. Dalam gelap kami berempat terombang-ambing di laut sambil memeluk fiber itu. Kalau ketemu apa saja yang bisa dimakan, kami ambil daripada mati kelaparan,” ungkap Nono di RSUD Depati Hamzah, Pangkalpinang, Kamis (15/1) lalu.
Nono, Sarno dan jenazah Taribi dibawa ke RSUD Depati Hamzah, guna memudahkan penyelidikan polisi. Tampak jenazah Taribi masih menggunakan baju kaos krem abu-abu dan celana jins biru terbujur kaku di kamar mayat rumah sakit.
Nono, Cipto dan Taribi warga Cirebon hendak ke Toboali untuk mencari pekerjaan. Sedangkan Sarno, warga Banjar, Cimahi, Jawa Barat, bekerja buruh bangunan bermaksud pulang ke Muntok. Nono, Sarno dan Taribi ditemukan nelayan di perairan Tanjung merun, Sadai, Kamis sekitar pukul 04.00 WIB. Sedangkan Cipto memutuskan berenang mengenakan jaket pelampung mencari rekan lain, namun sejauh ini belum diketahui keberadaannya. “Kata Cipto mau berenang ke pulau terdekat. Dia pakai baju pelampung,” ujarnya.
Dalam keadaan lemas, Nono masih sanggup mengingat malam mengerikan itu, Rabu (14/1) dini hari. Katanya, saat hendak buang air besar, dia dikejutkan oleh teriakan seorang ABK KM Jaya Ekspres agar mengambil pelampung.
“Terdengar teriakan kapal mau terbalik. Tapi saya dan Taribi tidak dapat jaket pelampung. Kami panik dan kapal akhirnya tenggelam. Saya tidak tahu lagi teman-teman kami yang lain,” ujarnya. Dalam kondisi kedinginan dan kelaparan, mereka berusaha bertahan sambil memanjatkan doa. Tak ada yang mereka harapkan kecuali mukjizat Allah SWT.
Tuhan berkehendak lain, di tengah kepanikan itu, Taribi menghembuskan nafas terakhir, Rabu sekitar pukul 03.00 WIB. Hati Nono sangat bersedih, Taribi menarik nafas terakhir tepat di sampingnya. “Taribi saya peluk berjam-jam, sejak dia meninggal hingga ditolong nelayan. Taribi baru saja sembuh dari sakit, tapi dia nekat mau ke Bangka,” kenang Nono sedih.
Ganasnya laut juga dirasakan Sarno. Bersama Nono, dia hanya mampu berdoa dan memeluk tutup fiber sekuat tenaga. Saat itu, bayangan wajah istri dan tiga anaknya melintas di benaknya. Sarno tak menyangka musibah itu datang saat dirinya berjuang mencari nafkah bagi keluarganya. Dia berangkat bersama Jokul (45), yang juga tenggelam dan sampai saat ini tak diketahui keberadaannya. “Saya pakai jaket pelampung. Saya sudah pasrah ajal akan menjemput,” ungkapnya.
Tubuh Luka
Di tengah laut, Nono dan Sarno tak mampu menghidar dari hujan dan terik matahari. Apalagi Nono, yang terus mendekap jenazah karibnya, Taribi agar tak hanyut. Karena sinar matahari, tutup fiber lamakelamaan menjadi panas. Dalam keadaan terpaksa, mereka terus memeluk tutup fiber hingga perut keduanya melepuh.
Tepat di bawah pelupuk mata Nono membiru. Sedangkan Sarno mengeluh sakit di bagian pinggang. Entah apa sebabnya, kaki dan tangan mereka terdapat banyak luka gores. “Kalau di perut, mungkin karena fiber yang panas. Kami tidak tahu lagi berapa kali dihempas gelombang besar,” kata Sarno.
Kedua korban menjalani perawatan di UGD RSUD Depati Hamzah, Pangkalpinang. Tubuh keduanya sangat lemah dan membutuhkan bantuan cairan melalui infus.