Di The New York Mercantile Exchange, Senin kemarin harga minyak mentah jenis light sweet untuk pengiriman Februari ditutup US$ 35,80 atau turun 71 sen. Kemungkinan besar penurunan itu akan terus berlanjut. Bahkan ada yang meramalkan harga minyak akan tembus US$ 20 per barel.
Tak seorang pun menyangka kalau harga bakal turun sangat drastis. Sebab, pertengahan Juli 2008 bahan bakar itu sempat mencapai US$ 147,47 per barel. Saat itu para pengamat yakin, harganya bakal tembus US$ 200.
Tapi seiring dengan merosotnya daya beli penduduk AS yang biasanya mengkonsumsi sekitar 25% pasokan minyak dunia, akibat krisis keuangan, perlahan tapi pasti permintaan dunia pun merosot.
“Semua orang khawatir akan pertumbuhan global, dan minyak berada di garis depan,” sahut Mark Pervan, ahli strategi komoditi senior ANZ Bank di Melbourne. Upaya Organisasi Eksportir Minyak Dunia (OPEC) untuk menstabilkan harga dengan memangkas produksi pun tak mampu meredam kegundahan investor.
Sekadar mengingatkan, sejak September 2008 OPEC telah memangkas produksi minyaknya sebanyak 4,2 juta barel per hari. Menurut Chatib Khelil, Menteri Perminyakan Aljazair, kini OPEC sedang mempertimbangkan memangkas lagi produksinya. “Kami akan membahas rencana tersebut di Wina Austria, Maret depan,” katanya.
Seberapa jauh lagi harga minyak akan terperosok? Khelil tidak berani mengira-ngira. Tapi pengamat perminyakan Kurtubi pernah mengatakan bahwa harga minyak bisa saja turun hingga tinggal US$ 20 per barel jika perekonomian dunia terus memburuk.
Bagi negeri importir minyak, boleh jadi penurunan harga minyak merupakan kabar baik tapi tidak bagi negeri petrodollar. Standard & Poor’s menyatakan negara-negara produsen minyak macam Venezuela akan terganggu neraca keuangannya jika harga minyak turun drastis.
PFC Energy, konsultan asal Washington, memperkirakan Venezuela memerlukan harga minyak mencapai US$ 95 per barel guna menjaga stabilisasi makro ekonomi.
Serba salah; naik susah, turun juga susah.