Umat Khonghucu seluruh dunia memperingati hari sembahyang kubur atau Cheng beng dalam bahasa Hokkien atau disebut juga upacara Qin Ming dalam bahasa Mandarin pada 5 April ini. Perayaan yang dimaknai sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur tersebut juga dianggap penting sebagai wujud eksistensi Khonghucu sebagai Agama.
Khonghucu sebagai sebuah ajaran atau adat atau kepercayaan ataupun agama sudah ada 2000 tahun sebelum Nabi Khongcu lahir sekitar 551 SM dan di Indonesia baru diakui sebagai sebuah agama sewaktu Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI.
Meski negara sudah mengakui Khonghucu sebagai agama namun Etnis Tionghoa di Indonesia tidak banyak yang menganggapnya sebagai sebuah agama, sehingga kebanyakan generasi Tionghoa saat ini memeluk agama Katolik, Protestan, Islam ataupun Budha.
Bagi mereka, Khonghucu adalah ajaran atau tradisi nenek moyang yang harus dihormati sehingga setiap perayaan hari besar Khonghucu seperti Imlek atau Cheng beng juga ikut dirayakan meski mereka bukan memeluk agama Khonghucu.
Ketua Majelis Agama Khonghucu (Makin) Provinsi Kepulauan Riau, Soedarmadi A Tan Tjong Kuan mengakui memang masih banyak etnis Tionghoa yang belum menyadari Khonghucu sebagai agama, namun mereka ikut terlibat dan merayakan setiap hari besar Khonghucu seperti perayaan Cheng beng atau Qin Ming
"Seberapapun baiknya manusia jika tidak ingat hari Ceng Beng maka dia tidak pantas dikagumi dan dihormati, tapi sejahat apapun seorang anak jika memperingati hari Ceng Beng maka patut dikagumi, “ kata Soedarmadi.
Hari Cheng beng ditentukan berdasarkan posisi bumi terhadap matahari berdasarkan kalender Gregorian AWAL (bukan akhir), sehingga Cheng beng jatuh pada tanggal 5 April atau 4 April. Bila diartikan maka Cheng berarti cerah dan Beng artinya terang sehingga bila digabungkan maka Cheng beng berarti terang dan cerah.
Pada hari Cheng beng, kata Sodarmadi, umat Khonghucu akan berbondong-bondong pulang ke tanah kelahirannya atau mudik untuk melakukan berbagai ritual, sehingga tidak mengherankan jika menjelang pelaksanaan hari Cheng beng maka keturunan Tionghoa memenuhi pelabuhan, bandara dan terminal untuk pulang kampong.
Hal tersebut mesti dilakukan karena memperingati Cheng beng berarti harus jiarah ke kuburan leluhur. Pada hari Cheng beng, umat Khonghucu akan membersihkan kuburan nenek moyang sebagai tanda hormat, kemudian melakukan tabur kertas di atas kuburan sehingga menyerupai sisik naga dan dihias seindah mungkin. Kemudian dilanjutkan dengan sembayang menggunakan garu, lilin dan kertas. Dalam sembahyang tersebut, turut serta dibawa aneka bahan makanan dan buah dan setelahnya dibawa pulang kembali untuk dimasak dan dimakan bersama seluruh keluarga.
Menurut Soedarmadi, memperingati Cheng beng penting bagi generasi muda Tionghoa yang setiap harinya sibuk mencari nafkah di berbagai daerah dan kota tidak hanya di Indonesia tetapi seluruh dunia. Sebab, pada saat itu mereka di ingatkan untuk peduli terhadap orang tua dan leluhur sehingga sikap menghormati leluhur tetap terjaga.
Terlebih, pada saat ini masih banyak generasi muda Tionghoa belum meyakini bahwa Khonghucu adalah agama bukan tradisi, meski mereka selalu terlibat dalam setiap perayaan hari besar Khonghucu.
Oleh karenanya, kata Soedarmadi, Majelis Agama Khonghucu senantiasa memberi pemahaman kepada generasi muda Tionghoa bahwa Khonghucu adalah agama, seperti yang akan dilakukan bersama Kementrian Agama RI melalui kegiatan pengembanan Agama Khonghucu.
Menurut Soedarmadi, kegiatan tersebut merupakan yang pertama di dukung oleh pemerintah RI yang bertujuan untuk membangkitkan dan mengembalikan kembali hak sipil umat Khonghucu di Indonesia guna meluruskan kembali ajaran-ajaran agama yang selama ini telah bergeser dari yang seharusnya. (gus).