Tidak seperti halnya ikan mas, ikan patin, udang windu, ikan lele dan lobster air tawar, pengembangan usaha budidaya sidat di Indonesia masih sulit dilaksanakan, apalagi penyediaan benih ikan ini betul-betul tergantung alam. Pemeliharaan benih sidat di kolam-kolam belum popular, karena ikan ini karnivor dan kanibal.
Benih yang didapat dari alam ditampung dan diberi makan cacing halus. Umumnya, hasil budidaya sidat ini diekspor. Tujuan ekspor benih sidat ke luar negeri, terutama Jepang, negeri yang perikanan sidatnya sudah sangat maju tetapi sangat membutuhkan benih cukup banyak. Untuk menambah pengetahuan dan alih teknologi, berikut diterangkan budidaya sidat yang dilakukan di Jepang.
PENYEDIAAN PAKAN
Sebelum mengumpulkan benih sidat, persediaan pakan harus disiapkan terlebih dahulu. Sebelum pakan buatan ditemukan, ikan rucah digunakan sebagai pakan sidat.
Pakan buatan yang tersedia adalah dalam bentuk tepung. Untuk ransum makanan, pakan buatan dicampur air dengan rasio 1 : 1. kadang-kadang, dapat juga ditambah obat-obatan dan cacahan ikan runcah. Campuran pakan ini diaduk sehingga berbentuk adonan dan segera diberikan kepada sidat sebelum menjadi keras.
Kandungan protein yang dibutuhkan dalam pakan elver, sidat muda dan dewasa berturut-turut adalah 55,50 dan 45%. Sedangkan kandungan lemak dalam ransum makanan pada umumnya 3%. Ransum makanan yang diberikan sebanyak 2-6% berat total tubuh sampai ikan tumbuh menjadi 40g, kemudian ransum makan yang diberikan hanya 1-3% berat total tubuh.
Peternak harus mengamati aktivitas makan sidat dengan cermat dan mengatur ransum makanan sehingga sidat dapat mengkonsumsi semua pakan dalam satu jam atau lebih baik lagi dalam waktu 30 menit. Pakan buatan haru disimpan di tempat dingin dan kering, dalam cold strorage (ruang pendingin), dan pakan yang baru harus dibeli setiap satu atau dua minggu dari pabriknya.
PENGUMPULAN BENIH SIDAT
Elverdikumpulkan dari daerah muara sungai ketika mereka mulai beruaya ke arah sungai, yaitu saat akhir musim gugur sampai musim dingin di Jepang. Nelayan mengumpulkan elver dengan seser atau jarring penangkap serta menggunakan lampu untuk menarik perhatiannya. Ukuran mata jaring alat tangkap tersebut adalah 0,7-1,0 mm. Elver yang terkumpul kadang disimpan dalam kandang elver, yaitu kotak kayu yang mempunyai saringan di dasarnya. Ketika elver mencapai kepadatan tertentu, mereka dipindahkan ke bak-bak pemeliharaan. Elver harus ditangani dengan hati-hati untuk mencegah kematian karena luka-luka. Ukuran elver adalah 0,15-0,2g berat tubuh dengan panjang total 50-60 cm.
PEMELIHARAAN ELVER DAN SIDAT MUDA
Peternak sidat membeli elver dari pemasok. Elver yang akan dibeli diperiksa dahulu untuk meyakinkan bahwa benih sidat tidak luka, berpenyakit, atau lemah. Terkadang, elver direndam dalm larutan obat beberapa saat, guna mencegah pertumbuhan bakteri patogen, sebelum dimasukan ke bak pemeliharaan.
Elver dipelihara di dalam bak berkapasitas 30-50m² dengan kedalaman 50-70 cm. Bak-bak diletakkan di dalam ruangan. Tiga atau empat hari pertama, anak sidat ini harus aklimatisasi sesuai kondisi bak-bak tanpa pemberian pakan. Jika suhu air akan ditingkatkan sampai optimum (25-28ÂșC di Jepang), harus dilakukan bertahapselama aklimatisasi. Perubahan mendadak menyebabkan tekanan fisiologik.
Cacing tubificid (tubifisid) merupakan makanan terbaik bagi pemeliharaan awal elver. Untuk beberapa hari, cacahan tubificiddiberikan disekeliling dinding bak, sehingga semua elver memperoleh kesempatan untuk memangsa ransum yang tersedia. Setelah itu, area pemberian pakan dipersempit sampai pakan hanya diberikan sepanjang satu penampangdinding. Dengan cara ini, anak sidat dilatih untuk makan di tempat dan waktu yang telah ditentukan.
Dalam waktu dua sampai empat minggu, ransum makanan diberikan dua kali sehari, subuh dan petang hari, pada suatu tempat berpenarangan lampu 20-40 watt. Waktu makan secara perlahan dialihkan ke siang hari. Meski sidat telah terbiasa makan siang hari, pakan tetap diberikan dua atau tiga kali sehari selama dua sampai tiga bulan.
Setelah dua atau tiga minggu dari awal pemberian pakan, cacahan daging ikan dan pakan buatan mulai dicampur dengan cacing tubificid. Jumlah pakan buatan dalam pakan campuran tersebut ditingkatkan sedikit demi sedikit sampai akhirnya hanya pakan buatan yang diberikan.
Beberapa peternak tetap memberikan campuran cacahan ikan dan pakan buatan sampai sidat berbobot 1g. Ketika sidat masih kecil, pasta makanan disediakan agak lunak. Setelah sidat tumbuh lebih besar, diberikan pasta agak padat.
Padat penebaran elver biasanya berkisar antara 150g/m² dan 300g/m². Kelulushidupan elver sampai berat tubuh 1g adalah 80-90%.
PEMBESARAN
Setelah anak sidat dapat menerima ransum makanan yang terdiri dari pakan buatan saja, pemilahan sidat pertama kali dilakukan. Semua sidat dari dalam bak dikumpulkan melalui pipa pengeluaran ke dalam keranjang dan dipindahkan ke jaring kurung kecil di bak lain.
Sidat yang besar dipisahkan, yang lebih kecil dipindahkan ke bak-bak budidaya untuk pembesaran lebih lanjut. Kemudian, pemilahan dilakukan setiap 40 hari.
Pemilahan yang sering dilakukan memiliki beberapa manfaat, yaitu memungkinkan mengetahui persediaan sidat yang dibudidaya, meningkatkan efisiensi pakan dengan mengurangi kemungkinan pakan yang tersisa, memungkinkan pengamatan kondisi sidat secara cermat, dan dapat benar-benar membersihkan bak-bak budidaya.
Adonan pakan buatan, kini, diberikan satu kali sehari sebanyak 1-3% berat total tubuh dalam bak budidaya. Kepadatan ideal untuk sidat berbobot 10g adalah 3 sampai 6 kg/m² dan untuk sidat besar, 9-21kg/m².
Sisa bahan organic yang tertimbun di pusat bak karena pergerakan air harus dibersihkan dengan cara disedot setiap pagi dan sore. Pengelolaan air budidaya dilakukan dengan cermat sepanjang musim dingin untuk menjaga air tetap bersih dan hangat (dengan memanaskan air sampai suhu optimal), sementara pergantian air dilakukan sesedikit mungkin untuk efisiensi biaya pemanasan.
PANEN DAN PEMASARAN
Setelah lima bulan dibudidaya, sidat yang tumbuh cepat telah mencapai ukuran jual. Sidat tersebut tetap dapat dipanen untuk dipasarkan. Sidat yang dipanen diletakkan di dalam keranjang plastik. Keranjang ini diletakkan di dalam bak berisi air dengan sirkulasi. Pakan tidak diberikan selama satu hari sebelum pengangkutan ke pasar.
Untuk pengangkutan selama lima sampai 10 jam dapat digunakan keranjang plastik, yaitu 10 keranjang yang berisi 4-5kg sidat ditumpuk dan air dingin dipancurkan di atas tumpukan keranjang tersebut. Satu keranjang berisi 1-2kg es batu kemudian diletakkan di atas tumpukkan tersebut. Tumpukkan tadi kemudian dimuat ke atas truk dengan ditutup kain kanvas.
Untuk jarak jauh, yang memerlukan waktu 20 sampai 30 jam, sidat dikemas dalam kantong plastik lapis dua berkapasitas 8 liter, diisi 1-2 liter air, 0,5-1kg es batu dan gas oksigen. Satu kantong dapt diisi 5-10kg sidat. Biasanya, dua kantong dikemas dalam satu kotak Styrofoam.
Perubahan Iklim Ubah Pola Migrasi Sidat Tropis
Perubahan iklim telah mengubah pola migrasi ikan sidat di perairan laut Kepulauan Indonesia. Jika biasanya ikan ini hanya bisa dilihat di laut selama setengah tahun, namun saat ini belut laut ini muncul sepanjang tahun.
Bentuknya seperti ular. Namun secara biologis karena memiliki insang dan sirip dia masuk kelompok ikan. Orang Indonesia biasa menyebutnya ikan sidat (belut laut tropis) atau bahasa latinnya anguilla sp. Jarang sekali ikan ini dikonsumsi oleh orang pribumi. Meski demikian, jangan remehkan ikan ini dari bentuknya. Sebab kandungan nutrisi ikan ini berada di atas rata-rata semua jenis ikan. Bahkan, di Eropa, Amerika, dan Jepang ikan ini laris manis dan menjadi konsumsi dari kalangan menengah ke atas karena harganya cukup mahal.
Bahkan sebagian orang Jepang percaya bahwa dengan mengonsumsi ikan ini bisa menambah stamina dan memperpanjang umur. Meskipun terkesan hanya sebagai mitos, namun secara medis ikan ini memang memiliki kandungan nutrisi protein, karbohidrat, serta omega 3 yang tinggi. Sehingga menguatkan fungsi otak dan memperlambat terjadinya kepikunan. Indonesia memiliki potensi sebagai penghasil ikan sidat jenis tropis yang melimpah.
Menurut Peneliti Bidang Sumber Daya Laut Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hagi Yulia Sugeha menyatakan RI berpotensi menjadi penghasil ikan sidat terbesar di dunia. Sebab, ikan sidat jenis tropis yang ada di perairan laut Indonesia memiliki karakter yang unik. Sidat betina tropis memiliki kemampuan reproduksi sembilan kali lebih banyak ketimbang jenis ikan sidat dari lintang tinggi. Ini bisa dilihat dari jumlah telur yang dibawa dalam perutnya. Selain itu kemampuan memijahnya pun sepanjang tahun. Dengan kemampuan bertelur mencapai ratusan ribu bahkan jutaan telur, maka ikan ini sangat potensial untuk dibudidayakan.
“Ikan sidat merupakan menu paling mahal di Jepang disebut sebagai unagi tahun 2000-an harga ikan ini di pasar 700 yen per ekor (saat itu sekira Rp.490 ribu per ekor). Tapi kalau sudah diolah yang siap makan di restoran harganya 5.000 yen per porsi. Itu hanya orang kaya yang beli padahal hanya 1 potong,” katanya.
Meski demikian, kata dia, ikan sidat kini mulai menunjukkan pola hidup yang berbeda. Menurut Yulia, ini bisa disebabkan oleh perubahan iklim atau kondisi air yang tercemar. Selama ini dilaporkan ikan ini akan muncul di lautan hanya setengah tahun. Namun ternyata berdasarkan penelitian yang dia lakukan di Muara Sungai Poigar sebelah utara pulau Sulawesi, ikan ini bisa muncul sepanjang tahun. Selain itu, komposisi spesies ikan sidat yang masuk ke perairan laut Indonesia pun bisa berbeda. Dalam satu tahun bisa dominan sidat jenis spesies celebesensis, sedang tahun berikutnya bisa dominan marmorata.
Pengamatan yang dilakukan Yulia bersama empat peneliti dari Jepang selama kurun 1997-1999, terungkap bahwa pola migrasi sidat Muara Sungai Poigar Sulawesi tercatat ada tiga karakter spesies sidat yang melimpah. Yakni, jenis anguilla celebesensis, marmorata, dan bicolor pacifica. Selama tiga tahun penelitian celebesensis merupakan spesies paling melimpah dengan angka 73,5 persen, 79,5 persen, dan 81,9 persen. Marmorata merupakan spesies dengan kelimpahan nomor dua dengang persentase 23,8 persen, 18,8 persen, dan 17,7 persen. Sedangan bicolor pasifika hanya 2,7 persen, 1,7 persen, dan 0,3 persen.
“Selama awal bulan, belut laut ini tampak lebih melimpah saat laut pasang ketimbang saat surut. Dari hasil penelitian ini menemukan bahwa ikan sidat akan menjadi melimpah saat awal bulan dan saat laut pasang,” katanya.
Namun selama empat tahun terakhir penelitian yang dilakukan Yulia bersama tim peneliti LIPI, ditemukan pola migrasi yang berbeda dari ikan ini.
Menurut dia, ikan sidat telah mengubah tingkah laku migrasi. Dia bersama tim peneliti baru saja melaporkan tentang perubahan dominasi spesies. Celebesensis yang sebelumnya tampak melimpah kini telah digantikan oleh marmorata. Toh meskipun, kata dia, dalam bermigrasi celebesensis memang lebih dekat ke Indonesia dibandingkan marmorata dan bicolor pasifika.
“Kami menduga perubahan siklus ini karena dia mengikuti siklus perubahan iklim. Jadi mungkin 10 tahun kemudian bisa jadi celebesensis akan dominan lagi. Lha kalau dipengaruhi lagi oleh perubahan iklim itu bisa berubah sebab spesies yang bermigrasi sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim atau lingkungan. Jadi apabila lingkungan berubah, maka pola migrasinya juga akan berubah. Misalnya sungainya rusak, tercemar dan lainnya,” paparnya.
Para ilmuwan memang sudah terlanjur khawatir. Bahwa pada 2030 mendatang diperkirakan banyak spesies akan punah. Namun kenyataannya dilaporkan bahwa Indonesia merupakan tempat bagi tujuh dari 18 spesies ikan sidat yang ada di dunia.
Bahkan hasil penelitian yang dilakukan Yulia dan Tim LIPI menemukan lima jenis spesies baru yang karakternya belum pernah di laporkan ada di dunia. Sehingga berpeluang menjadi spesies baru di luar angka 18 spesies yang telah tercatat tersebut. Selain itu, dia menemukan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi tempat tinggal tujuh spesies sidat, namun juga ditemukan dua spesies lainnya yang termasuk bagian dari 18 spesies tersebut. Artinya Indonesia berpeluang ditempati sembilan spesies sidat yang pernah dikenal di dunia.
Tidak hanya itu, spesies moyang dari sidat yakni anguilla borneensis merupakan spesies yang hanya ada di Indonesia dan statusnya sudah endemis atau terancam punah. Wilayah Indonesia memang sangat memungkinkan sebagai tempat favorit sidat, karena karakter ikan sidat yang suka bertelur di wilayah gugusan pulau. Selain itu banyaknya gunung dan danau merupakan surga bagi ikan ini. Yulia bersama Tim peneliti sempat menemukan ikan sidat yang sudah berumur 15 tahun dengan ukuran panjang 1,72 meter dan berat 15 kg. Tingkat pertumbuhannya memang tinggi di daerah tropis.
“Curiga saya jangan-jangan 18 spesies dunia awal penyebarannya dari Indonesia kemudian menyebar ke daerah lain,” katanya.
Mempelajari pola karakter hidup ikan sidat memang unik. Ikan ini bisa hidup di air tawar maupun asin, dipercaya inilah yang menyebabkan metabolisme dan daya tahan tubuh ikan ini menjadi tinggi sehingga kandungan nutrisinya pun tinggi. Ikan sidat dewasa akan bereproduksi di laut. Sementara jutaan anakan-anakan ikan ini akan bermigrasi mencari muara dan menuju air tawar dan tinggal di sana selama bertahun-tahun.
Setelah dewasa sidat akan kembali mencari laut untuk bereproduksi begitu terus siklusnya. Ini terbalik dari ikan salmon yang justru mencari air tawar untuk melakukan reproduksi, dan anak-anaknya yang akan bermigrasi mencari laut.
Namun menurut Yulia, memang ada yang berubah dari pola migrasi sidat. Temuan lain yang dia dapatkan bersama tim peneliti adalah pola migrasi yang tidak sama antara Indonesia bagian barat, tengah, dan timur.
Penelitian yang dilakukan secara serentak di tiga wilayah tersebut dengan melibatkan banyak anggota tim peneliti menemukan bahwa musim kemarau merupakan puncak kelimpahan sidat di Indonesia bagian tengah yakni pada bulan April – Oktober. Namun kebalikannya, justru Indonesia bagian barat dan timur kelimpahannya rendah saat musim kemarau.
“Jadi kemungkinan ketemu kelimpahannya di musim penghujan. Nah implikasinya buat pengelolaannya tidak boleh sama. Kebiasaan di Indonesia, jika satu budi dayanya seperti ini maka yang lainnya juga sama. Padahal musimnya saja beda,” paparnya.
Hingga saat ini, memang eksploitasi ikan sidat masih mengandalkan hasil tangkapan alam. Biasanya ikan sidat ditangkap saat anakan untuk kemudian diekspor atau pada ukuran yang sudah besar. Meskipun di Indonesia potensinya memang melimpah dan belum tergali, namun menurut Yulia hingga saat ini belum ditemukan lokasi di mana ikan sidat ini bertelur dan bereproduksi. Jika sudah ditemukan lokasi dan karakternya, tentu akan sangat membantu pengembangan budi dayanya.
Selain itu, dia mengkhawatirkan masih ada spesies lain ikan sidat di negeri ini yang belum ditemukan. Kekhawatirannya spesies tersebut sudah punah lebih dulu sebelum dilakukan pencatatan akibat eksploitasi yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan ikan ini.
Sebuah piring berwarna putih diletakkan seorang pelayan di atas meja di sebuah warung makan sederhana di Kota Tentena, tepian danau Poso, Sulawesi Tengah.
Di dalamnya tampak sepotong ikan belut bakar, warga setempat menyebutnya sogili (anguilia spp). Di sampingnya ada lalapan berupa potongan ketimun kupas, daun kemangi segar dan kacang panjang serta dabu-dabu (sambal) berupa irisan bawang merah, tomat dan cabe yang diberi garam secukupnya.
Setelah menyodorkan sayur asam dan sepiring nasi putih, sang pelayan kemudian mempersilahkan saya menyantap hidangan yang bau harumnya telah menyodok hidung dan mengumbar nafsu makan sejak ikan sogili atau masapi itu dibakar di dapur tepat di belakang meja makan yang tepisah dengan dinding papan setinggi satu meter.
“Mari pak, silahkan,” kata Ny. Eli Patodo, pemilik warung tersebut.
Hanya dalam beberapa menit, sogili ini tinggal tulangnya saja. Sayur lalap dan dabu-dabu yang disajikan lenyap bersamaan dengan daging sogili.
Ketika hendak meninggalkan warung sederhana tapi nyaman di ujung jembatan Pamona itu, Ny. Eli Patodo menyebut Rp25.000 untuk harga menu yang baru saja dinikmati.
“Memang begitu harganya. Ini malah sudah agak murah karena sekarang, sogili mulai banyak. Kalau beberapa bulan sebelumnya, harga satu potong ikan sogili goreng atau bakar bisa Rp30.000,” kata Marten, seorang warga Kota Tentena.
Itu sebabnya, hanya sebagian kecil masyarakat Tentena yang biasa makan sogili.
“Torang (kami) di sini kalau tidak ba tangkap sendiri, tidak mo pernah makan sogili. Kalu cuma harap beli, harganya mahal sekali,” katanya.
Ny. Eli Patodo mengemukakan, menu sogili di warungnya tidak hanya dalam bentuk bakar, tetapi ada pula yang digoreng. Yang paling khas untuk masyarakat Tentena adalah menu yang mereka sebut orogo-onco.
Orogo dan onco adalah sejenis bumbu daun-daunan khas Tentena yang dicampurkan ketika ikan sogili dimasak dengan sedikit santan kental sehingga terasa agak asam.
“Cuma maaf pak, orogo onco sogili sekarang tidak. Pembeli sekarang masih sepi karena harga sogili masih tinggi,” ujar Ny Eli lagi.
“Orang disini suka sekali orogo-onco. Kalau mereka punya ikan sogili sendiri, umumnya dimasak orogo-onco,” kata Deni Raurau, seorang warga Tentena lainnya.
Ikan sogili, katanya, paling cocok dimasak orogo-onco karena kandungan lemaknya, apalagi di bagian kulit. Karena itu, kalau dimakan tidak cepat terasa mual sekalipun makan beberapa potong.
“Cuma hati-hati, orang yang menderita kolesterol tinggi atau hipertensi (tekanan darah tinggi) tidak boleh makan banyak ikan sogili,” kata Ny. Eli Patodo yang mengaku selalu menyediakan bawang putih untuk pelanggannya yang menderita hipertensi bila memesan ikan sogili.
Diekspor
Ikan sogili kini menjadi komoditi ekspor yang menarik dari Tentena. Itu pula yang menyebabkan harga sogili segar (hidup) terus melambung.
Pasar ikan sidat di dunia sangat besar, terutama ke Taiwan, Hongkong, Jepang, China dan beberapa negara Eropa dan kebutuhan mereka selama ini belum pernah tercukupi. Ikan sidat di negera-negara itu menjadi menu makanan yang mahal.
Di Taiwan dan Jepang misalnya, harga sogili asal Tentena yang masih hidup konon bisa mencapai Rp350.000/kg.
Joni, seorang pedagang antarpulau sogili ke Jakarta mengaku tidak tahu persis harga sogili di luar negeri, namun diperkirakan cukup tinggi.
“Itu sebabnya, harga beli kita dari nelayan di Tentena dewasa ini cukup tinggi juga. Sogili yang beratnya lebih dari dua kilogram perekor dibayar dengan harga Rp75.000/kg,” ujarnya.
Menurut dia, kalau lagi musim, harga sogili akan tinggi karena pembeli tidak perlu menyimpan lama di dalam keramba untuk dikirim ke Jakarta melalui jalan darat ke Makassar dan pesawat terbang ke Jakarta .
“Kalau lagi musim, setiap satu minggu kami sudah mengirim 300 sampai 400 kg sogili ke Jakarta, tapi di luar musim bisa menunggu sampai sebulan baru bisa mengirim. Ini berarti, resiko mati cukup tinggi sehingga harga biasanya kami tekan,” ujar Joni.
Menurut bapak angkat bagi sebagian besar nelayan pemilik perangkap sogili di Tentena itu, musim panen sogili terjadi pada bulan Pebruari sampai Agustus dimana saat itu air danau Poso akan mengalami pasang.
Penangkapan ikan sogili dilakukan dengan membuat pagar perangkap di mulut sungai berbentuk piramid yang terbuat dari kayu dan bambu.
Di ujung piramid itu dipasang bubu (wuwu) atau pukat untuk menampung sogili yang terperangkap. Saat sogili keluar dari danau Poso dan mulai masuk ke mulut sungai, maka ikan belut itu akan tergiring masuk ke bubu atau pukat.
“Jadi pada subuh hari kita tinggal mengangkat pukat atau bubunya untuk mengambil ikan belut itu,” ujar Tampai (83 tahun), seorang nelayan sogili di Tentena yang memiliki sejumlah perangkap.
Setiap pagar perangkap diusahakan oleh delapan sampai sepuluh orang neyalan dengan pembagian hasil dilakukan secara bergiliran setiap hari. Misalnya si `A` yang mendapat giliran hari Senin, maka seluruh hasil panen pada Senin itu adalah milik `A` demikian seterusnya.
“Ini sudah tradisi yang turun temurun di sini sejak tahun 1950-an,” kata Tampa`i (83) yang tampak masih kuat dan tetap menekuni usaha menangkap belut tersebut.
Musim sogili, kata Tampai biasanya mulai bulan Desember sampai Juni, namun tahun 2009 ini, musim rupanya bergeser dan baru mulai ramai bulan Pebruari 2009. Musim panen sogili diperkirakan mencapai puncak pada bulan Mei.
“Sekarang hasilnya belum begitu ramai, paling banyak 10 sampai 12 kg atau sekitar empat ekor tiap hari. Pada puncak musim, satu hari bisa dapat 20 sampe 25 kg/hari,” ujarnya.
Ikan sogili hidup dengan berat di atas dua kg perekor, dijual kepada pengumpul untuk diekspor dengan harga Rp75.000/kg, sedang yang sudah mati atau yang beratnya di bawah dua kg perekor dijual ke masyarakat lokal atau pengusaha restoran/warung makan seharga Rp45.000/kg.
“Tidak ada kesulitan menjual sogili baik yang hidup maupun yang mati karena pasarnya luas. Pengumpul sogili hidup membeli berapapun yang dihasilkan nelayan dengan harga cukup tinggi, sebab sogili hidup kini telah menjadi komoditi ekspor yang dikirim melalui Makassar,” kata Kaverius, nelayan sogili lainnya yang tinggal di kota Wisata Tentena, sekitar 56 km dari Kota Poso itu.