1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam menjaga eksistensinya, perusahaan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai lingkungan eksternalnya. Ada hubungan resiprokal (timbal balik) antara perusahaan dengan masyarakat. Perusahaan dan masyarakat adalah pasangan hidup yang saling memberi dan membutuhkan. Kontribusi dan harmonisasi keduanya akan menentukan keberhasilan pembangunan bangsa. Dua aspek penting harus diperhatikan agar tercipta kondisi sinergis antara keduanya sehingga keberadaan perusahaan membawa perubahan ke arah perbaikan dan peningkatan taraf hidup masyarakat.
Dari aspek ekonomi, perusahaan harus berorientasi mendapatkan keuntungan dan dari aspek sosial, perusahaan harus memberikan kontribusi secara langsung kepada masyarakat. Perusahaan tidak hanya dihadapkan pada tanggung jawab dalam perolehan keuntungan semata, tetapi juga harus memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungannya.
Jika masyarakat menganggap perusahaan tidak memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya serta tidak merasakan kontribusi secara langsung bahkan merasakan dampak negatif dari beroperasinya sebuah perusahaan maka kondisi itu akan menimbulkan resistensi masyarakat. Komitmen perusahaan untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa dengan memperhatikan aspek finansial atau ekonomi, sosial, dan lingkungan (triple bottom line) itulah yang menjadi isu utama dari konsep Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan.
Ide tanggung jawab sosial pada dasarnya adalah bagaimana perusahaan memberi perhatian kepada lingkungannya, terhadap dampak yang terjadi akibat kegiatan operasional perusahaan. Menurut Holmes (1976) dalam Moir (2001) menyatakan selain menghasilkan keuntungan, perusahan harus membantu memecahkan masalah-masalah sosial terkait atau tidak perusahaan ikut menciptakan masalah tersebut bahkan jika disana tidak mungkin ada potensi keuntungan jangka pendek atau jangka panjang.
Menurut WBCSD (World Business Council for Sustainable Development)
dalam Moir (2001) mendefinisikan CSR sebagai :
“…CSR is the continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large.”
Dari definisi tersebut disimpulkan bahwa perusahaan harus dapat berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi, beriringan dengan meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja dan keluarganya serta komunitas lokal dan masyarakat luas. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengerti aspirasi dan kebutuhan stakeholder dan kemudian berkomunikasi dan berinteraksi dengan para stakeholder.
Konsep CSR pada umumnya menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan tidak hanya terhadap pemiliknya atau pemegang saham saja tetapi juga terhadap para stakeholder yang terkait dan/atau terkena dampak dari keberadaan perusahaan. Perusahaan yang menjalankan aktivitas CSR akan memperhatikan dampak operasional perusahaan terhadap kondisi sosial dan lingkungan dan berupaya agar dampaknya positif. Sehingga dengan adanya konsep CSR diharapkan kerusakan lingkungan yang terjadi di dunia, mulai dari penggundulan hutan, polusi udara dan air, hingga perubahan iklim dapat dikurangi.
Berbagai dampak dari keberadaan perusahaan ditengah-tengah masyarakat telah menyadarkan masyarakat di dunia bahwa sumber daya alam adalah terbatas dan oleh karenanya pembangunan ekonomi harus dilaksanakan secara berkelanjutan, dengan konsekuensi bahwa perusahaan dalam menjalankan usahanya perlu menggunakan sumber daya dengan efisien dan memastikan bahwa sumber daya tersebut tidak habis, sehingga tetap dapat dimanfaatkan oleh generasi di masa datang. Dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), maka kegiatan CSR menjadi lebih terarah, paling tidak perusahaan perlu berupaya melaksanakan konsep tersebut.
Kesadaran stakeholder akan pentingnya pembangunan berkelanjutan yang dilakukan oleh perusahaan mendorong perusahaan untuk mengungkapkan praktik- praktik atau kegiatan CSR yang dilakukan. Lebih lanjut lagi, menurut Deegan dan Gordon (1996) dalam Jose dan Lee (2006) bahwa tekanan stakeholder terhadap perusahaan untuk dapat secara efektif menjalankan kegiatan lingkungannya serta tuntutan agar perusahaan menjadi akuntabel juga menyebabkan meningkatnya perusahaan yang melakukan pengungkapan lingkungan. Selain itu Owen (2005) mengatakan bahwa kasus Enron di Amerika telah menyebabkan perusahaan- perusahaan lebih memberikan perhatian yang besar terhadap pelaporan sustainabilitas dan pertanggungjawaban sosial perusahaan. Ini menjelaskan isu-isu yang berkaitan dengan reputasi, manajemen risiko dan keunggulan kompetitif juga menjadi kekuatan yang mendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan CSR.
Semakin kuatnya tekanan stakeholder dalam hal pengungkapan praktik- praktik CSR yang dilakukan oleh perusahaan menyebabkan perlunya memasukkan unsur sosial dalam pertanggungjawaban perusahaan ke dalam akuntansi. Hal ini mendorong lahirnya suatu konsep yang disebut sebagai Social Accounting, Socio Economic Accounting ataupun Social Responsibility Accounting (Indira dan Dini, 2005). Dengan lahirnya akuntansi sosial, produk akuntansi juga dapat digunakan oleh manajemen sebagai sarana untuk mempertanggungjawabkan kinerja sosial perusahaan dan memberikan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan bagi stekeholders.
Dalam lingkup wilayah Indonesia, standar akuntansi keuangan Indonesia belum mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi sosial, akibatnya yang terjadi di dalam praktik perusahaan hanya dengan sukarela mengungkapkannya. Secara implisit Ikatan Akutansi Indonesia (IAI) dalam Pernyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK) Nomor 1 (revisi 2004) paragraf 9 menyarankan untuk mengungkapkan tanggung jawab akan masalah sosial sebagai berikut :
“Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peran penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.”
Lebih jauh lagi, adanya CSR di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 ayat 1 Undang- undang tersebut menyebutkan bahwa ”Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pasal 15 (b) menyatakan bahwa ”setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”.
Pentingnya pengungkapan CSR telah membuat banyak peneliti untuk melakukan penelitian dan diskusi mengenai praktik dan motivasi perusahaan untuk melakukan CSR. Beberapa penelitian yang terkait dengan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan telah banyak dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Belkaoui dan Krapik (1989); Cowen, (1987); Hackston dan Milne (1996); Sembiring (2005) dan Anggraeni (2006) yang meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan CSR. Diantara faktor-faktor yang menjadi variabel dalam penelitian tersebut adalah ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage dan ukuran dewan komisaris.
Pengaruh ukuran perusahaan terhadap pengungkapan CSR tercermin dalam teori agensi yang menjelaskan bahwa perusahaan besar mempunyai biaya agensi yang besar, oleh karena itu perusahaan besar akan lebih banyak mengungkapkan informasi daripada perusahaan kecil. Akan tetapi, tidak semua penelitian mendukung hubungan antara ukuran perusahaan dengan tanggung jawab sosial perusahaan. Penelitian yang tidak berhasil menunjukkan hubungan kedua variabel ini seperti yang disebutkan dalam Hackston dan Milne (1996) antara lain Roberts (1992), Sigh dan Ahuja (1983), Davey (1982) dan Ng (1985). Sebaliknya penelitian yang berhasil menunjukkan hubungan kedua variabel ini antara lain Belkaoui dan Karpik (1989), Adam et. al., (1995, 1998), Hackston dan Milne (1996), Kokubu et. al., (2001), Hasibuan (2001), Sembiring (2005) dan Anggraeni (2006).
Faktor lain yang diduga mempengaruhi pengungkapan CSR adalah profitabilitas. Hubungan profitabilitas terhadap pengungkapan CSR menurut Bowman dan Haire (1976) dalam Heckston dan Milne (1996) bahwa kepekaan sosial membutuhkan gaya managerial yang sama sebagaimana yang diperlukan untuk dapat membuat perusahaan menguntungkan (profitable). Penelitian yang dilakukan oleh Bowman dan Haire (1976) serta Preston (1978) dalam Hackston dan Milne (1996) mendukung hubungan profitabilitas dengan pengungkapan CSR. Sedangkan penelitian yang dilakukan Hackston dan Milne (1996) dan Belkaoui dan Karpik (1989) melaporkan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR.
Leverage memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki perusahaan, sehingga dapat dilihat tingkat resiko tak tertagihnya suatu utang. Scott (2000) menyampaikan pendapat yang mengatakan bahwa semakin tinggi leverage kemungkinan besar perusahaan akan mengalami pelanggaran terhadap kontrak utang, maka manajer akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi dibandingkan laba dimasa depan. Perusahaan yang memiliki rasio leverage tinggi akan lebih sedikit mengungkapkan CSR supaya dapat melaporkan laba sekarang yag lebih tinggi.
Faktor lain yang mempengaruhi pengungkapan CSR adalah dewan komisaris. Dengan wewenang yang dimiliki, dewan komisaris dapat memberikan pengaruh yang cukup kuat untuk menekan manajemen untuk mengungkapkan CSR. Sehingga perusahaan yang memiliki ukuran dewan komisaris yang lebih besar akan lebih banyak mengungkapkan CSR. Hal ini sejalan dengan penelitian Hadi dan Arifin (2002) dan Sembiring (2005) yang menunjukan hasil bahwa proporsi dewan komisaris independen mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi pengungkapan CSR menunjukkan hasil yang berbeda- beda. Pertentangan hasil penelitian tersebut dapat terjadi karena beberapa alasan seperti: perbedaan periode waktu penelitian, interpretasi peneliti terhadap laporan keuangan perusahaan atas variabel yang digunakan maupun perbedaan metode pengujian yang ditempuh oleh peneliti. Penelitian ini menarik untuk dilakukan karena untuk memverifikasi ulang hasil penelitian terdahulu tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi praktek pengungkapan informasi pertanggungjawaban sosial perusahaan.
Penelitian ini akan menguji variabel faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan CSR. Penelitian ini akan menguji pengaruh variabel ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage dan ukuran dewan komisaris terhadap pengaruhnya dalam pengungkapan CSR pada perusahaan manufaktur di
Indonesia.