Espendi memainkan kaleng berisi bara sambil berlaga seperti guide. Di belakangan, kamera subyektif terus membuntuti. Lelaki kecil itu memang tengah menjadi “kendaraan” untuk bertutur tentang kekumuhan dan kesemrawutan sudut kota Kabul yang dikuasai Taliban.
Espendi makin bergaya, ketika menjumpai dua wanita yang berjalan tergesa-gesa. Salah satu di antaranya adalah bocah perempuan seusia Espendi. Kamera makin “nakal” mempermainkan kedua wanita itu. Untung saja, tiba-tiba muncul ratusan perempuan yang berunjuk rasa menuntut kesamaan hak; kaum muslimah pun berhak bekerja!
Teknik pengambilan gambar yang “cinema veritee” makin liar, tatkala pasukan Taliban datang dan membubarkan massa. Dua wanita kecil yang tadi dipermainkan Espendi mencoba bersembunyi. Mereka ketakutan. Kekacauan kian tak terkendali. Semburan water canon membubarkan massa dan menempatkan dua wanita dan Espendi ke sebuah rumah. Mereka bersembunyi. Saat itulah, Espendi berkenalan si bocah perempuan kecil.
Scene berikutnya, kamera lebih memfokus pada keluarga si bocah perempuan kecil. Ia tinggal bersama ibunya yang dokter dan neneknya. Petaka terjadi, ketika rumah sakit tempat sang ibu bekerja ditutup. Keluarga itu kehilangan nafkah. Parahnya lagi, Taliban begitu perkasa membelakukan syariat Islam, yang melarang perempuan bekerja.
“Dahulu kala ada cerita, ketika lelaki melawati pelangi, ia menjadi perempuan. Dan, ketika perempuan berjalan di bawah pelangi, ia menjadi lelaki,” dongeng nenek si bocah perempuan di setiap malam. Bocah perempuan itu tertidur. Dan, dongeng itulah yang membimbing tangan ibu dan neneknya untuk memangkas rambutnya. Ia memang “dipaksa” menjadi lelaki demi mendapatkan nafkah.
Namun, persoalan tidak selesai begitu saja. Baru saja berpetualang sebagai lelaki, Espendi mengenalinya. Bahkan, ia diperas Espendi untuk memberikan uang karena tahu rahasia keperempuanannya. Klimaksnya, si bocah perempuan harus bergabung dengan “sekolah” khusus Taliban. Artinya, ia benar-benar memasuki dunia lelaki yang sebenarnya. Bahkan, ia pun harus praktik mandi junub bersama bocah-bocah lain di hadapan Mullah Shahib, pimpinan dan guru di tempat itu.
“Basuh dulu yang tengah, gosokkan sebelah kiri tiga kali dan sebelah kanan tiga kali,” kata Mullah Shahib. Janggut putihnya panjang. Umurnya sekitar 70. Tapi, perawakannya masih terlihat gagah.
Si bocah perempuan kecil hanya menurut dan menurut, sambil terus berpura-pura sebagai lelaki. Ia memang harus berjuang menjaga “kelelakiannya” agar selamat di tempat itu. Hingga, ia pun ikhlas membuka baju demi rahasia besarnya itu.
Ketika identitas keperempuannya tercium teman-temannya, Espendi jadi pahlawan. Bahkan, ia memberikan nama baru untuk si bocah perempuan, Osama. Sejak itu, ia dipanggil Osama.
Kepalang hancur, ya hancur juga jadinya. Akhirnya, semua yakin bahwa Osama adalah perempuan. Bahkan, sang Mullah “mengujinya” dengan menggantung Osama di atas sumur. Osama menangis memanggil nama ibunya. Darah pun mengucur dari organ perempuannya. Sang Mullah pun yakin, Osama adalah perempuan!
Perempuan yang bekerja adalah larangan. Perempuan yang berjalan tanpa didampingi muhrimnya larangan. Perempuan menyamar sebagai lelaki juga larangan. Ah, syariat begitu banyak memberangus kemerdekaan perempuan di negeri itu. Resiko atas setiap pelanggaran adalah dikubur hidup-hidup. Dan, hakim memutuskan Osama bersalah dan harus dihukum hidup-hidup.
Entah keberuntungan atau tragedi yang terus memanjang, Mullah Shahib justru melobbi hakim untuk membebaskan Osama. Imbalannya, Osama yang baru berusia 12 dan belum memasuki masa puber harus ikhlas menjadi istri sang kakek. Osama menangis. Tapi, hakim dan Mullah sepakat. Maka, Osama pun bebas dari hukuman kubur hidup-hidup dan menjemput “hukuman” baru di tangan Mullah.
Drama Osama berakhir, ketika para istri Mullah mengintipi malam pertamanya bersama Mullah Shahib. Dari kejauhan, tanpa ada suara tangis Osama, Mullah dengan kain menutupi organ terlarangnya berendam di bak untuk mandi junub. Sayup-sayup terdengar kembali pelajaran tentang mandi jubub yang pernah diberikan Mullah kepada murid-murid lelakinya.
“Basuh dulu yang tengah, gosokkan sebelah kiri tiga kali dan sebelah kanan tiga kali…”
Film “Osama” besutan sutradara asal Afghanistan, Siddiq Barmak, begitu sempurna di mata saya. Tanpa banyak mengumbar keindahan gambar dan “wira-wiri” lagu-lagu pop, ia menjual drama dan kejujuran sebuah tema. Dua modal itu membuat saja pengecut untuk menuliskan referensi atau kritik-kritik pedas terhadapnya. Apalagi, merinci kekurangannya sequence by sequence.
Sebaliknya, saya justru berharap banyak mendapat kesempatan menggarap sekuelnya (bila ada founder). Tiba-tiba saya jadi berpikir keras, seandainya mendapat kesempatan menggarap “Osama 2”(?)
Yang pasti, saya tidak akan menjadi produser atau sutradara dalam film itu. Karena saya merasa miskin pengetahuan dan pengalaman, untuk menggarapkan film dengan tema luar biasa seperti itu. Bahkan, untuk menjadi penulis skenarionya pun, saya angkat tangan. Kelas saya hanyalah menulis skenario sinetron. Bahkan, ketika dulu diminta menulis skenario sebuah sinetron laga, posisi saya cuma ghost writer!
Biar aman, pastinya saya akan lebih memilih posisi produser eksekutif yang lebih memfokuskan pada “pemaksaan” ide besar. Sedangkan, kelelahan di hari-hari syuting biarlah diserahkan kepada produser, sutradara, penulis skenario, dan kru lain. Yang penting, mereka merupakan orang-orang pilihan yang memang mampu menafsirkan ide besar itu.
Dengan kapasitas yang besar itulah, saya akan bermain dengan gagasan nasib Osama selanjutnya. Di benak saya, dalam “Osama 2”, tidak akan mengubar drama kesedihan dan duka lara Osama. Biarlah resep seperti itu menjadi milik sinetron-sinetron kita. Sebaliknya, sosok Osama saya buat lebih tegar dan berkarakter.
Osama yang telah melewati malam pertamanya bersama Mullah Shahib tidak dibiarkan larut dengan tragedi cintanya. Ia tidak perlu marah kepada Tuhan lantaran mendapatkan ketidakadilan. Ia tidak perlu gusar lantaran mendapatkan pelajaran cinta yang sempurna dari lingkungannya. Jauh di benaknya, Osama membangun pemahaman yang dasyat soal cinta.
Menurutnya, pelajaran cinta pertama didapat dari belaian kasih orangtua. Lalu, setiap dari kita belajar mencintai lawan jenis, menikah, dan memiliki anak. Di saat bersamaan, pelajaran cinta pun harus ditebarkan kepada sesama. Puncak pelajaran itu adalah mencintai Yang Mahapencipta dengan penuh keikhlasan dan keridhoan. Itulah klimaks proses pembelajaran itu.
Namun, Osama tidak beruntung. Belum lagi khatam belajar mencintai orangtua, ia “lompat” kelas da harus belajar mencintai sang Mullah yang uzur. Bahkan, ia dipaksa untuk menelan pelajaran itu. Buat kita, pastinya itu merupakan tragedi cinta! Namun, karena saya berniat membuat film dengan tema yang berbeda, maka Osama harus memainkan perannya sebagai perempuan yang “lompat” kelas untuk belajar mencintai Dzat Yang Mahasempurna.
Gambarannya, mungkin tidak seekstrim Ibu Rabbi’ah Addawiyah yang menyerahkan jiwa-raganya hanya untuk Tuhan. Tapi, ia harus memperlihatkan kecintaannya yang luar biasa kepada Ilahi Robbi sambil menemani sang Mullah. Biar ia menjadi pelajaran penting buat penonton, maka saya tidak akan membiarkannya sedetik pun berdekatan dengan sang suami. Untuk tugasnya, karena Allah SWT akan melindungi hambaNya yang sangat mencintaiNya, maka biar saja mata Mullah menjadi “buta” hingga ia tidak sadar dilayani oleh perempuan lain (diinspirasi kisah Asiah yang tidak terjamah Fir’aun).
Dengan tema besar itu, saya hanya ingin bertutur (melalui tangan-tangan kreatif orang lain) bahwa Osama tidak layak mendapat hidayah tragedi cinta. Terlebih lagi, ia masih bocah. Saya sangat tidak ikhlas, syariat justru melegalkan perkawinan yang sesungguhnya haram. Karena, saya termasuk meyakini, perkawinan adalah lembaga untuk mensyahkan upaya pelajaran mencintai lawan jenis, untuk menjemput pelajaran-pelajaran cinta lain. Tanpa ada landasan cinta, bukankah perkawinan itu bukan hanya bersifat haram tapi juga tidak membuahkan pelajaran untuk mencintaiNya?
Kalau kegiatan yang didasarkan syariat atau hukum-hukum yang diakui kebenarannya tidak membuat manusia dekat dan mencintaiNya, lalu buat apa? Masalahnya, mungkinkah ada yang berminat untuk memfilmkan “Osama 2” dengan teman seperti itu?