Sabtu, 12 Maret 2011

“Raja Lele” dari Ujung Timur Pulau Jawa

“Raja Lele” dari Ujung Timur Pulau Jawa


lele_1Siapa raja lele yang sebenarnya? “Raja Lele”, bukan hanya berasal dari nama kelompok budidayanya saja, akan tetapi melihat kesuksesan yang dicapai dalam meningkatkan produksi ikan lele hingga ambang batas normal. Padat tebar yang tinggi hingga mencapai angka 1.000 – 1.500 ekor/m2 merupakan kunci utamanya.



Berada pada lokasi yang terletak pada 08025’57,5” LS - 114019’41,1” BT, di ujung timur Pulau Jawa, tepatnya di Desa tembok Rejo, Kec. Muncar, Banyuwangi – Jawa Timur terdapat kelompok pembudidaya lele Super Intensif bernama “Raja Lele” dengan jenis lele yang dibudidayakan adalah lele dumbo. Selain usaha pembesaran lele untuk ikan konsumsi, Raja Lele juga bergerak dalam usaha perbenihan lele. Usaha perbenihan dilakukan untuk membantu pasokan benih untuk kegiatan pembesaran apabila mengalami kesulitan pasokan benih.

Digawangi oleh Syamsul Arifin, dialah ketua kelompok dari Raja Lele yang berhasil membudidayakan lele dengan padat tebar tinggi. Berawal dari pemikirannya yang sederhana untuk mengubah image negatif dari lele, dimana lele itu diproduksi. Bukan menjadi suatu rahasia apabila pemeliharaan lele di lokasi pemukiman yang padat penduduk banyak penolakan dari warga sekitar. Hal ini dikarenakan bau menyengat dari kolam tempat pemeliharaan. Sehingga pembudidaya lebih memilih untuk memelihara di pekarangan / kebun yang sedikit jauh dari tempat tinggal. Belum lagi dalam hal pakan yang digunakan. Sehingga oleh Syamsul diterapkan teknik budidaya, yakni budidaya ramah lingkungan dengan melakukan manajemen budidaya baik manajemen kualitas air maupun pemberian pakan.

Luas pemeliharaan Raja Lele saat ini terdiri dari kolam kecil dengan luasan total 160 m2 dan kolam besar berjumlah 600 m2. Dari luasan tersebut dapat memproduksi lele sebesar ± 150 ton/bulan. Kolam yang digunakan sebagai wadah budidaya sebagian besar berupa kolam beton, meski ada juga dari anggota kelompok yang menggunakan kolam dari terpal.

Lele dibudidayakan selama 2,5 bulan. Kebutuhan akan benih untuk Raja Lele selain dari pasokan pembenih lokal juga dari luar daerah, seperti Jember. Untuk kebutuhan pakan, Raja Lele menggunakan pakan buatan atau pelet hasil produksi pabrikan. Dalam pemeliharaannya, tidak ada perbedaan secara teknis budidaya dengan pembudidaya lele pada umumnya. Hanya melakukan sejumlah manajemen budidaya. Manajemen tersebut meliputi manajemen pakan, dan air.

Dalam hal pakan, pemberian pakan dilakukan dengan mengacu pada waktu dan feeding habit alami dari lele. Seperti yang diketahui, lele adalah jenis ikan yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal). Berawal dari hal tersebut, Raja Lele mengaturnya dengan memberi pakan dengan konsentrasi yang lebih banyak pada malam hari. Perbandingan pakannya, yaitu 70% malam dan 30% siang. Selain pakan, pergantian air merupakan bagian terpenting. Disamping untuk menjaga kesehatan ikan, juga dapat menghindari adanya penyakit. Meskipun lele termasuk ikan yang memiliki daya tahan kuat terhadap kondisi perairan yang jelek sekalipun, akan tetapi perkembangannya tidak dapat optimal. Hal lain yang dilakukan dalam budidaya super intensif ini adalah adanya pemilahan ukuran (grading) yang dilakukan setiap 3 – 4 hari sekali, serta penambahan probiotik pada pakan dan media pemeliharaan.

Selama ini permintaan akan lele di pasaran cenderung meningkat. Hasil produksi Raja Lele selain untuk konsumsi pasar lokal juga ke luar daerah. Daerah yang menjadi tujuan sekaligus pasar terbesar Raja Lele adalah Bali. Dari hasil panen 150 ton/bulan terbagi untuk pemasaran lokal dan luar daerah (Bali) dengan perbandingan 60 ton (lokal) dan 90 ton (Bali). Belum lama ini, Raja Lele telah memasarkan hasilnya ke Bandung. Tentunya bukan hal yang mudah jika ingin mengekspor hasil usaha budidaya hingga ke luar daerah. Ada beberapa hal yang menjadi tantangan, antara lain :

1. Kualitas barang (produk) yang bersaing

2. Harga yang bersaing

3. Jaminan keamanan akan produk dari pihak/instansi yang berwenang.

Syamsul menambahkan, keberanian Raja Lele memasarkan ikannya ke Bandung adalah dengan diperolehnya sertifikat CBIB dari KKP. Adanya sertifikat CBIB dapat memberikan jaminan keamanan pangan mulai bahan baku hingga produk akhir hasil budidaya yang bebas dari bahan cemaran sesuai persyaratan pasar. Sehingga dapat meningkatkan kepercayaan produsen kepada konsumen, yang nantinya akan memiliki daya saing terhadap produk yang dihasilkan. Yang penting untuk diperhatikan dalam memperoleh sertifikat ini, seluruh tahapan dalam budidaya ikan seperti sanitasi dan pengendalian yang bertujuan dalam upaya mencegah tercemarnya hasil perikanan budidaya dari berbagai bahaya keamanan pangan seperti bakteri, racun hayati (biotoxin), logam berat serta pestisida, maupun residu bahan terlarang (antibiotik, hormon, dsb).

Adapun kendala yang dialami Raja Lele saat ini adalah berkaitan dengan sarana transportasi. Selama ini produksi yang dihasilkan tidak bersamaan. Sehingga hasil panen diperoleh dari beberapa anggota kelompok untuk kemudian dikumpulkan dan dijadikan satu, dan selanjutnya didistribusikan ke daerah tujuan. Sarana pendistribusian biasanya berupa truk (untuk muatan besar) dan pick-up (untuk muatan kurang dari 5 ton). Dalam satu bulan, pengangkutan hasil panen dapat dilakukan hingga beberapa kali. Hal ini akan menambah biaya produksi karena belum adanya sarana pengangkutan.

Dengan tingkat padat tebar yang tinggi disertai manajemen budidaya yang baik serta adanya sertifikat CBIB, Raja Lele akan memiliki daya saing tinggi baik di daerah maupun secara nasional.

sumber : http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id
◄ Newer Post Older Post ►