Jumat, 23 Januari 2009

Rupiah Hadapi Krisis Babak Kedua

Jakarta - Nilai tukar rupiah pada perdagangan Jumat (23/1) diperkirakan masih berada dalam tekanan. Investor memburu dolar sebagai aset investasi teraman di tengah ketidakpastian ekonomi global. Alhasil, mata uang Paman Sam ini bakal menguat.

Analis Sentral Asset Futures Andri Zacharias mengatakan, rupiah masih akan bergerak dalam kecenderungan melemah. Sehingga rupiah ditransaksikan dalam kisaran terbatas.

“Rupiah hari ini akan berada di kisaran 11.000-11.500 per dolar AS. Tapi BI mulai akan intervensi di level 11.300 per dolar AS.”

Mengantisipasi krisis finansial babak kedua, pelaku pasar lebih memilih membeli dolar, karena mata uang Eropa anjlok dan pasar saham di emerging market fluktuatif cenderung melemah.

Sehingga mereka ke luar dari euro, poundsterling dan pasar Asia, kemudian masuk ke US treasury dan government bond Jepang. Namun, ada sebagian juga yang masuk ke emas. “Jadi saat ini, ada tiga sarana investasi yaitu surat utang pemerintah AS dan Jepang, dolar dan emas,” ujarnya.

Menurutnya, indikasi krisis finansial babak kedua itu sudah mulai terlihat pada pertumbuhan ekonomi negara-negara maju yang memburuk secara signifikan di kuartal pertama.

Misalkan saja angka pertumbuhan ekonomi (PDB) China yang hanya mencapai 6,8% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 9%, kemudian Korea yang angka PDB-nya minus 5,4% dan Singapura minus 5%.

“Jadi kuartal pertama krisis perbankan mulai benar-benar terlihat,” ucapnya. Sementara pada kuartal kedua tahun ini, lanjutnya, juga akan terjadi perlambatan ekonomi di negara utama Asia dan China diperkirakan hanya tumbuh 1%.

Selain itu, perbankan Eropa pun sudah anjlok satu persatu, terlihat dari Barclay yang akan meminta nasionalisasi. Kemudian HSBC, bank Inggris yanag juga bank terbesar di Hong Kong. “Bank ini juga akan melakukan right issue karena pemerintah Inggris menyatakan tidak akan melakukan penambahan modal,” tandas Andri.

Sementara ekonomi Indonesia diperkirakan hanya akan tumbuh sekitar 3,5%, mengingat selama ini sebagian besar disumbang ekspor komoditas. Ini berarti dengan deflasi yang berlangsung lama, ekonomi RI sulit tumbuh. “Ini membuat investor di pasar domestik memegang dolar sebagai aset yang aman,” katanya.

Andri menambahkan bahwa kejatuhan krisis perbankan yang kedua ini akan dimulai dari Eropa Timur, dimana cadangan devisa Rusia saat ini sudah terbukti tersedot seiring anjloknya harga minyak mentah.

Dengan deflasi yang diramalkan masih berlangsung lama, serta harga minyak mentah yang diperkirakan menuju level US$ 20 per barel pada kuartal kedua ini, maka cadangan devisa Indonesia yang kini mencapai US$ 52 miliar pun akan tergerus. “Soalnya cadangan devisa itu juga dipakai BI untuk intervensi di pasar valas,”tuturnya.

Andri mengakui, cadangan devisa Indonesia memang mengalami sedikit peningkatan. Namun sebagian besar cadangan devisa itu terdiri dari standby loan. Ini berarti, dengan situasi negara-negara kreditor kesulitan likuiditas, perbankan akan sulit mendapatkan dana,” ujarnya. Selama ini cadangan devisa Indonesia sebagian besar dikontribusi dari ekspor sektor migas.

Deputi Gubernur Senior BI Miranda S Goeltom mengharapkan agar pergerakan rupiah kembali ke faktor fundamental, yaitu suplai dan demand. “Masalah rupiah lebih dipengaruhi demand tapi kadang juga dipengaruhi persepsi general. Kalau dana asing hilang dampaknya tidak terlalu besar ke rupiah," ujarnya.

Menurut Miranda, dana asing berupa hot money saat ini lebih banyak masuk ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN). Namun, ia membantah bahwa rupiah melemah akibat turunnya investasi asing langsung (foreign direct invesment/FDI) di emerging market, termasuk Indonesia.

◄ Newer Post Older Post ►