Ketegangan di Timur Tengah dalam konteks Israel, mencuat ketika Israel memproklamasikan kemerdekaan pada 1948. Semua negara Arab tak menerima kehadiran Israel. Mereka dianggap telah merampok wilayah Palestina. Karenanya, pertikaian paling keras terjadi antara Palestina dan Israel.
Kendati begitu, ketergantungan antara kedua warga, dalam konteks tertentu, tidak bisa ditiadakan. Perang di satu kawasan boleh pecah, tetapi di kawasan lain kehidupan warga Palestina dan Israel berjalan normal.
Pada 1993, sebelum Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin menandatangani perjanjian damai di Washington, sekitar 20 ribu warga Palestina rutin masuk-keluar Israel. Mereka tinggal di Palestina seperti di Tepi Barat. Tapi pada hari kerja mereka menyeberang ke Israel sebagai karyawan perusahaan atau pabrik milik warga Yahudi. Mereka menerima upah dalam mata uang Israel, shekel. Upah itu mereka belanjakan kebutuhan hidup di pasar-pasar setempat.
Setiap hari, pagi dan sore, mereka melewati check point yang membelah Palestina dan Israel. Di situ, mereka harus menunjukkan bukti tanda pengenal bahwa mereka warga Palestina yang bekerja atau berkantor di perusahaan milik Israel.
Warga Palestina membutuhkan pekerjaan dan penghasilan. Sebaliknya, orang Israel membutuhkan tenaga dan waktu dari para pekerja Palestina. Pekerja Palestina ini tidak mungkin digantikan warga lain.
Bagi kedua pihak Palestina dan Israel – yang penduduknya tidak sebanyak warga DKI Jakarta, 20 ribu tenaga merupakan jumlah yang cukup signifikan. Bila setiap tenaga kerja menghidupi dua orang saja, setidaknya terdapat 60 ribu warga Palestina sehari-harinya bergantung pada eksistensi dan keberhasilan perusahaan Israel. Angka yang tak sedikit untuk negara yang berpenduduk 4 juta orang.
Ketika warga Palestina menerima upah mingguan mereka dari perusahaan Israel, boleh jadi tidak terlintas dalam benak masyarakat internasional bahwa antara bangsa Palestina dan Israel dalam konteks tertentu justru saling menghidupi. Bukan saling membunuh. Permusuhan dua bangsa terkalahkan oleh kenyataan di atas.
Situasi paradoksal lainnya juga terjadi di kota tua Yerusalem. Di kota yang terdapat tiga agama berbeda, berdiri tiga tempat ibadah yang berada dalam satu lingkungan: Islam dengan Masjid Al-Aqsa, Yahudi dengan Sinagoge atau Tembok Ratapan, dan Kristen dengan Kathedral di Bukit Golgota.
Di kawasan tersebut, perbedaan keyakinan tidak menjadi persoalan yang sensitif. Di sepanjang jalan Via Dolorosa yang menuju ke Kathedral, sejumlah warga Israel keturunan Palestina yang beragama Islam, dengan bebasnya menjual berbagai pernik dan asesoris Kristen. Mereka menjajakan salib, patung Bunda Maria, Alkitab, dan lain sebagainya.
Yang juga jadi persoalan yang tak pernah jelas, setiap kali terjadi perang atau gesekan Palestina dan Israel, yang dituding sebagai juru bantu Israel adalah Amerika Serikat. Stigma bahwa Amerika pro Israel, sama kuatnya dengan persepsi bahwa Liga Arab pro Palestina.
Padahalnya keduanya tidak seluruhnya benar. Pengaruh AS di Israel dan Timur Tengah justru bertambah kuat karena kelemahan bangsa Arab sendiri. Jadi menguatnya dukungan AS terhadap Israel, berproses karena kesalahan bangsa Arab.
Situasi di Timur Tengah dalam dua dekade terakhir ini mengalami perubahan yang cukup signifikan. Dalam soal kemakmuran, di kawasan itu setidaknya sudah muncul negara maju seperti Uni Emirat Arab (UEA). Yang tengah menyusul, Qatar dan Bahrain. Kemajuan UEA tidak berdiri sendiri. Itu terkait dengan perdagangan minyak.
Melalui minyak, AS berhasil masuk ke dalam kamar-kamar pribadi para sheik dan ulama-ulama bangsa Arab. Akibat minyak, profil negara-negara anggota Liga Arab seperti Arab Saudi, Irak, Qatar, Bahrain, Oman, UEA, dan Kuwait, tidak lagi sama dengan dua dekade lalu. Sikap negara negara itu terhadap AS sangat lunak. Kepentingan mereka beda dengan kepentingan Palestina.
Negara-negara di atas merupakan produsen minyak mentah. Total produksi mereka per hari sekitar 21 juta barel. Minyak mentah yang mereka produksi dan ekspor merupakan salah satu bahan energi terpenting di dunia. Energi yang sangat dicari Amerika. Mereka tidak bisa menjual produk minyak ke Palestina.