I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan yang telah tercantum pada Sistem Kesehatan Nasional adalah suatu upaya penyelenggaraan kesehatan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia guna mendapatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal yang mana dikatakan bahwa peningkatan derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan, pelayanan kesehatan, tindakan serta bawaan (congenital). Hidup sehat merupakan hak yang dimilki oleh setiap manusia yang ada didunia ini, akan tetapi diperlukan berbagai cara untuk mendapatkannya (Anonim, 2007).
Sebagai upaya untuk mewujudkan visi Indonesia sehat 2010, pemerintah telah menyusun berbagai program pembangunan dalam bidang kesehatan antara lain kegiatan pemberantasan Penyakit Menular (P2M) baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif di semua aspek lingkungan kegiatan pelayanan kesehatan.
Untuk dapat mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator, salah satunya adalah angka kesakitan dan kematian balita. Angka kematian balita yang telah berhasil diturunkan dari 45 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 44 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (Anonim, 2008).
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO ± 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (Depkes, 2000 dalam Asrun, 2006).
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Anonim, 2008).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Anonim, 2007).
Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera diobati. Usia Balita adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di negara berkembang.
Penemuan penderita ISPA pada balita di Sulawesi Tenggara, sejak tahun 2006 hingga 2008, berturut–turut adalah 74.278 kasus (36,26 %), 62.126 kasus (31,45%), 72.537 kasus (35,94%) (Anonim, 2008). Sedangkan penemuan penderita ISPA pada balita di Kabupaten Konawe dari tahun 2006 hingga 2008, berturut-turut adalah 8.291 kasus (23,63%), 7.671 kasus (28,09%) dan 7.289 kasus (24,63%). Data kesakitan yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe tiga tahun terakhir (tahun 2006 sampai dengan tahun 2008), Puskesmas Sampara menduduki urutan kedua tertinggi ISPA dari 24 Puskesmas di Wilayah Kabupaten Konawe. Atas dasar tersebut maka penulis memilih Puskesmas Sampara sebagai lokasi penelitian (Anonim, 2008).
Di Wilayah Kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Sampara, penemuan penderita ISPA pada balita tahun 2006 sebanyak 1.471 kasus (20,29%) dan sebanyak 415 (28,2%) kasus peneumonia. Tahun 2007 sebanyak 1.059 kasus (24,62%) dengan 258 (24,4%) kasus pneumonia. Kasus ISPA pada balita di Puskesmas Sampara pada tahun 2008 ditemukan sebanyak 1.149 dengan 383 (33,3%) kasus pneumonia (Anonim, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan dan angka kematian yang cukup tinggi, sehingga dalam penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari masyarakat maupun petugas, terutama tentang beberapa faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan. Menurut Hendrik Blum dalam Notoatmodjo, 1996, faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain faktor lingkungan seperti asap dapur, faktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah, faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi, ASI Ekslusif dan BBLR dan faktor keturunan.
Asap dapur dan faktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah sangat berpengaruh karena semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak, sedangkan faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi, ASI Ekslusif dan BBLR merupakan faktor yang dapat membantu mencegah terjadinya penyakit infeksi seperti gangguan pernapasan sehingga tidak mudah menjadi parah (Anonim, 2007).
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA, yang dapat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian akibat pneumonia. Hal inilah yang mendasari penulis untuk meneliti faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Bagaimanakah faktor resiko kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe Tahun 2009 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor resiko kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan asap dapur dengan kejadian ISPA pada balita.
b. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita.
c. Untuk mengetahui hubungan ASI Ekslusif dengan kejadian ISPA pada balita.
d. Untuk mengetahui hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita.
e. Untuk mengetahui hubungan BBLR dengan kejadian ISPA pada balita.
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah khususnya bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe dan Puskesmas dalam penentuan arah kebijakan program penanggulangan penyakit menular khususnya ISPA.
2. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, disamping itu hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.
3. Bagi penulis merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga dalam mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dan menambah wawasan pengetahuan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teoritis
1. Tinjauan Umum tentang ISPA
Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran pernapasan Akut dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya Mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga Alveoli beserta organ Adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Sedangkan Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (Alveoli). Terjadi pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada Bronkus disebut Broncho pneumonia (Justin, 2007).
|
Berdasarkan pengertian di atas, maka ISPA adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Karna, 2006).
Untuk kepentingan pencegahan dan pemberantasan, maka penyakit ISPA dapat diketahui menurut :
a. Lokasi Anatomik
Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi anatominya, yaitu : ISPA atas dan ISPA bawah. Contoh ISPA atas adalah batuk pilek (common cold), Pharingitis, Tonsilitis, Otitis, Ffluselesmas, radang tenggorok, Sinusitis dan lain-lain yang relatif tidak berbahaya. ISPA bawah diantaranya Bronchiolitis dan pneumonia yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian (Anonim, 2000).
b. Klasifikasi penyakit
Penyakit ISPA juga dibedakan berdasarkan golongan umur, yaitu :
1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas : pneumonia berat dan bukan pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (Fast breathing), yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau adanya tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam (Severe chest indrawing), sedangkan bukan pneumonia bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat (Anonim, 2002).
2) Kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dibagi atas : pnemonia berat, pnemonia dan bukan pnemonia. Pneumonia berat, bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas. Pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat sesuai umur, yaitu 40 kali permenit atau lebih. Bukan pneumonia, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat (Anonim, 2002).
c. Tanda dan Gejala
Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA (P2 ISPA) kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita, ditandai dengan adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya peningkatan frekwensi napas (napas cepat) sesuai golongan umur. Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua kelompok yaitu umur kurang dari 2 bulan dan umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun.
Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran pernapasan disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (fast breathing) dimana frekwensi napas 60 kali permenit atau lebih, dan atau adanya tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).
Bukan pneumonia apabila ditandai dengan napas cepat tetapi tidak disertai tarikan dinding dada ke dalam. Bukan pneumonia mencakup kelompok penderita dengan batuk pilek biasa yang tidak ditemukan adanya gejala peningkatan frekuwensi napas dan tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (Depkes, 2002)
Ada beberapa tanda klinis yang dapat menyertai anak dengan batuk yang dikelompokkan sebagai tanda bahaya :
1) Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor (ngorok), wheezing (bunyi napas), demam.
2) Tanda dan gejala untuk golongan umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor.
d. Penyebab Terjadinya ISPA
Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lain. ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh Virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri , virus dan mycoplasma. ISPA bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptcocus, Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Anonim, 2002).
e. Faktor Risiko ISPA
Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai negara termasuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor baik untuk meningkatkan insiden (Morbiditas) maupun kematian (Mortalitas) akibat pneumonia (Anonim, 2003).
Berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat pneumonia adalah umur di bawah 2 bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tingkat pendidikan ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, imunisasi yang tidak memadai, menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah (Anonim, 2003).
f. Penatalaksanaan Penderita ISPA
Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksana penderita ISPA pada balita adalah balita dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas. Pola tata laksana penderita pneumonia terdiri dari 4 bagian yaitu :
1) Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala yang ada pada penderita.
2) Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
Tanda bahaya, pada bayi umur kurang dari 2 bulan adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, Stridor, Wheezing, demam Atau
dingin. Tanda bahaya pada umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, Stridor dan gizi buruk (Anonim, 2002).
3) Tindakan dan Pengobatan
Pada penderita umur kurang dari 2 bulan yang terdiagnosa pneumonia berat, harus segera dibawa ke sarana rujukan dan diberi antibiotik 1 dosis.
Pada penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia dapat dilakukan perawatan di rumah, pemberian antibiotik selama 5 hari, pengontrolan dalam 2 hari atau lebih cepat bila penderita memburuk, serta pengobatan demam dan yang ada (Anonim, 2002).
Penderita di rumah untuk penderita pneumonia umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun, meliputi :
a) Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah jumlahnya setelah sembuh.
b) Pemberian cairan dengan minum lebih banyak dan meningkatkan pemberian ASI.
c) Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan yang aman dan sederhana (Anonim, 2002).
Penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia berat harus segera dikirim ke sarana rujukan, diberi antibiotik 1 dosis serta analgetik sebagai penurun demam dan wheezing yang ada (Anonim, 2002).
Penderita yang diberi antibiotik, pemeriksaan harus kembali dilakukan dalam 2 hari. Jika keadaan penderita membaik, pemberian antibiotik dapat diteruskan. Jika keadaan penderita tidak berubah, antibiotik harus diganti atau penderita dikirim ke sarana rujukan. Jika keadaan penderita memburuk, harus segera dikirim ke sarana rujukan (Anonim, 2002).
Obat yang digunakan untuk penderita pneumonia adalah tablet kotrimoksasol 480 mg, tablet kotrimoksasol 120 mg, tablet parasetamol 500 mg dan tablet parasetamol 100 mg (Anonim, 2002).
2. Tinjauan Umum Tentang Balita
Balita yaitu anak yang berusia di bawah 5 tahun merupakan generasi yang perlu mendapat perhatian, karena balita merupakan generasi penerus dan modal dasar untuk kelangsungan hidup bangsa, balita amat peka terhadap penyakit, tingkat kematian balita masih tinggi (Anonim,2002) .
Balita diharapkan tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat jasmani, sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan. Masalah kesehatan balita merupakan masalah nasional, menginggat angka kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi. Angka kesakitan mencerminkan keadaan yang sesungguhnya karena penyebab utamanya berhubungan dengan faktor lingkungan antara lain; asap dapur, penyakit infeksi dan pelayanan kesehatan.
Salah satu faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam proses tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan gizi dan pendidikan kesehatan pada orang tua (Lamusa, 2006).
3. Tinjauan Umum Tentang Variabel Penelitian
a. Asap Dapur
Gangguan saluran pernapasan yang diderita masyarakat selain disebabkan oleh infeksi kuman juga disebabkan adanya pencemaran udara yang terdapat dalam rumah, kebanyakan karena asap dapur. Pencemaran udara dalam rumah yang berasal dari aktivitas penghuninya antara lain : pengguna bahan bakar biomassa untuk memasak maupun memanaskan ruangan, asap rokok, pengguna insektisida semprot maupun bakar dan penggunaan bahan bangunan sintesis seperti cat dan asbes (Sukar,1996)
Menurut Anwar (1992), bahan pencemar yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar biomassa yang menimbulkan asap (asap dapur) yang berbahaya bagi kesehatan adalah :
1) Partikel
Partikel dalam asap pembakaran bahan bakar biomassa mengandung unsur-unsur kimia, seperti timbal (Pb), besi (Fe), mangan (Mn),arsen (As), cadmium (Cd). Partikel yang terhisap dapat menempel pada saluran pernapasan bagian atas masuk langsung ke paru-paru hal ini tergantung pada kandungan kimia dan ukurannya. Paparan partikel dengan kadar tinggi akan menimbulkan edema pada trachea, bronchus, dan bronchiolus. Beberapa logam seperti Pb dan Cd, bersifat akumulatif, paparan yang berulang dan berlangsung dalam waktu lama akan menyebabkan terakumulasinya logam-logam tersebut dalam alat pernapasan. Hal ini akan menimbulkan pengaruh yang bersifat kronis, yaitu terjadinya iritasi pada saluran napas sampai dengan timbulnya kanker paru.
2) Senyawa-senyawa hidrokarbaon aromatik polysiklik.
Salah satu senyawa yang berbahaya terhadap kesehatan karena diketahui bersifat karsinogenik adalah benzo-a-pyrene.
3) Formaldehid (HCHO)
Paparan Formaldehid dapat mengakibatkan iritasi pada mata, hidung dan alat pernapasan bagian atas. Hal ini terjadi karena adanya reaksi ketika bahan pencemaran bercampur dengan air mata atau lendir dalam saluran pernapasan.
4) Carbonmonoksida (CO)
Pengaruh akut inhalasi CO adalah berkurangnya persediaan oksigen dalam tubuh, yang disebabkan oleh bergabungnya CO dalam darah dengan molekul hemoglobin membentuk CO-Hb.
5) Nitrogendioksida (NO2)
Nitrogendioksida merupakan bahan pencemar udara yang paling banyak mempengaruhi kesehatan paru bagian dalam. Paparan NO2 yang berlangsung lama dapat menambah kerentanan terhadap infeksi alat pernapasan oleh bakteri (pneumonia) atau virus (influenza).
6) Sulfurdioksida (SO2)
Sulfurdioksida mempunyai sifat yang lebih mudah larut dalam air membentuk asam sulfat aerosol, yang dapat masuk ke dalam paru dan mangganggu fungsi paru.
Anak-anak/balita biasanya berada di dekat api atau berada di pangkuan ibunya ketika sedang memasak dan saat menyiapkan makanan bagi keluarga sehingga kontak dengan polusi dari bahan bakar biomassa dalam dapur, yang berlangsung secara terus menerus menyebabkan iritasi pada mukosa saluran pernapasan, sehingga memudahkan terjadinya infeksi.
b. Kebiasaan Merokok Dalam Rumah
Kesehatan yang kian mengkuatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya jumlah perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Hal ini tidak bisa dianggap sepele karena beberapa penelitian memperlihatkan bahwa justru perokok pasiflah yang mengalami risiko lebih besar daripada perokok sesungguhnya (Dachroni, 2003).
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream. Polusi udara yang diakibatkan oleh asap sidestream dan asap mainstream yang sudah terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasif atau perokok terpaksa (Adningsih, 2003).
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam asap rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-paru dan mengakibatkan pecahnya kantong udara (Dachroni, 2002).
c. Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi serta mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan yang dibuat manusia ataupun susu hewan seperti susu sapi (Soeharjo, 1992).
Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif berarti hanya memberikan ASI saja, tanpa tambahan makanan atau minuman apapun termasuk air (obat-obatan dan vitamin yang tidak dilarutkan dalam air mungkin dapat diberikan kalau dibutuhkan secara medis). Anak sampai usia enam bulan pertama hanya membutuhkan ASI Ekslusif menyediakan segala-galanya yang dibutuhkan anak usia ini , isapan anak menentukan kebutuhannya, oleh karenanya diberikan kesempatan sepenuhnya ia untuk dapat menghisap sepuasnya (BKKBN, 2001).Sedangkan menurut Rusli (2004) ASI Ekslusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa memberikan makanan/cairan lain. Bayi yang mendapat ASI Ekslusif lebih tahan terhadap ISPA (lebih jarang terserang ISPA), karena dalam air susu ibu terdapat zat anti terhadap kuman penyebab ISPA (Anonim, 2004).
d. Status Imunisasi
Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit lain diperlukan imunisasi lainnya (Anonim, 2008).
Imunisasi biasanya lebih fokus diberikan kepada anak-anak karena sistem kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit berbahaya. Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit yang sangat membahayakan kesehatan dan hidup anak.
Tujuan dari diberikannya suatu imunitas dari imunisasi adalah untuk mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya. Beberapa penyakit yang dapat dihindari dengan imunisasi yaitu seperti hepatitis B, campak, polio, difteri, tetanus, batuk rejan, gondongan, cacar air, TBC, dan lain sebagainya.
Infeksi SPA adalah salah satu jenis penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri, batuk rejan dan campak.
e. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003, angka kematian neonatal sebesar 20 per 1.000 kelahiran hidup. Dalam 1 tahun, sekitar 89.000 bayi usia 1 bulan meninggal, artinya setiap 5 menit ada 1 neonatus meninggal. Penyebab utama kematian neonatal adalah bayi berat lahir rendah (BBLR) (29 %) yang kedua adalah asfiksia (27 %).
Berat Badal Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir dengan berat lahir < 2500 gram. BBLR terdiri atas BBLR kurang bulan dan BBLR cukup bulan/lebih bulan. BBLR kurang bulan/prematur khususnya yang masa kehamilannya < 35 minggu, biasanya mengalami penyulit seperti gangguan napas, ikterus, infeksi dan lain-lain. Sementara BBLR yang cukup / lebih bulan umumnya organ tubuhnya sudah matur sehingga tidak terlalu bermasalah dalam perawatannya. Mereka hanya membutuhkan kehangatan, pemberian nutrisi dan mencegah infeksi (Anonim, 2007).
BBLR berisiko mengalami gangguan proses adaptasi pernapasan waktu lahir hingga dapat terjadi asfiksia, selain itu BBLR juga berisiko mengalami gangguan napas yakni bayi baru lahir yang bernafas cepat > 60 kali/menit, lambat < 30 kali/menit dapat disertai sianosis pada mulut, bibir, mata dengan/tanpa retraksi dinding dada/epigastrik serta merintih, dengan demikian BBLR sangat beresiko untuk terkena ISPA dibandingkan bayi bukan BBLR (Anonim, 2007).
B. Kerangka Konsep
Angka kesakitan dan angka kematian balita masih sangat tinggi, salah satu penyebab tingginya angka kematian dan angka kesakitan pada balita tersebut adalah ISPA, dimana ISPA menduduki urutan pertama tertinggi dari 24 Puskesmas di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe.
ISPA merupakan penyakit infeksi yang di sebabkan oleh bakteri maupun virus, lebih sering terjadi pada anak berusia dibawah lima tahun (balita). Anak balita yang menderita ISPA apabila tidak mendapat pengobatan dapat mengalami kematian. ISPA di pengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah:
1. Asap dapur sebagai sisa hasil pembakaran rumah tangga, bila terhirup secara terus menerus dapat mempengaruhi kesehatan penghuni rumah terutama kelompok balita, sehingga dapat berisiko terjadinya sakit.
2. Asi banyak mengandung protein, kalori dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh untuk membentuk sistem kekebalan tubuh sehingga terhindar dari penyakit dan infeksi. Pemberian makanan pendamping menyebabkan bayi kenyang sehingga tidak mau menetek.
3. Pemberian imunisasi yang tidak lengkap dapat menyebabkan kekebalan tubuh anak berkurang. Dengan pemberian imunisasi campak dan DPT diharapkan anak balita akan terhindar dari penyakit difteri, pertusis dan campak yang menyebabkan komplikasi pneumonia.
4. Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat mencemari ruangan sehingga asap rokok dapat terisap oleh anak balita.
5. Bayi dengan BBLR mudah menderita penyakit infeksi terutama pneumonia dan saluran pernafasan lainnya karena perkembangan zat kekebalan tubuh kurang sempurna.
Mengingat kemampuan dan keterbatasan peneliti, maka tidak semua variabel faktor risiko penelitian ini diteliti. Penelitian ini dibatasi pada faktor risiko seperti yang di gambarkan pada kerangka konsep dibawah ini.
Berdasarkan pola pemikiran di atas maka dibuatlah kerangka konsep variabel yang diteliti sebagai berikut :
A. Hipotesis Penelitian.
1. Ho : Asap dapur, kebiasaan merokok, BBLR, Imuisasi, letak dapur, bukan faktor risiko kejadian ISPA pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe.
2. Ha : Asap dapur, kebiasaan merokok, BBLR, Imuisasi, letak dapur, merupakan faktor risiko kejadian ISPA pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe.
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan case control yaitu membandingkan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol berdasarkan status terpaparnya (Murty, 1997) dengan menggunakan pendekatan retrospektif dimana efek diidentifikasi pada saat ini kemudian faktor risiko diidentifikasi terjadinya pada waktu yang lalu (Notoatmodjo, 2002).
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini rencana dilaksanakan pada bulan Maret 2009 sampai dengan April 2009 di Wilayah Kerja Puskesmas Sampara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang pernah menderita ISPA yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe 2008. Jumlah populasi 1.149 kasus ISPA dan 383 kasus pneumonia.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah :
a. Sampel kasus dalam penelitian ini adalah semua balita yang pernah ISPA dan terpilih sebagai sampel yang pernah berkunjung ke Puskesmas Sampara 2008. Sedangkan respondennya ibu balita, pengambilan sampel dilakukan secara Porporsive Sampling. Besar sampel dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan rumus sebagai berikut :
a. Kontrol adalah keluarga yang memiliki balita sehat sebanyak 62 keluarga. Kelompok kontrol diambil dari tetangga kelompok kasus yang memiliki ukuran yang sama seperti umur dan jenis kelamin, hal ini untuk memudahkan peneliti dalam pengumpulan data dan jika mengambil banyak faktor yang harus disamakan dengan kasus dapat menyebabkan kesulitan untuk mendapat kontrol (Sastroasmoro dan Ismael,1995)
Jumlah total sampel adalah jumlah sampel kasus ditambah dengan jumlah sampel kontrol, sehingga jumlah keseluruhan sampel adalah 124.
A. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah kuesioner (daftar pertanyaan) dan Komputer dengan program Statistical Product and Service Solution (SPSS), sebagai alat bantu dalam mengumpul data serta mengolah data hasil penelitian.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu :
a. Asap dapur
b. Kebiasaan merokok
c. ASI Ekslusif
d. Status imunisasi
e. Berat badan lahir rendah (BBLR)
2. Variabel terikat
Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu kejadian ISPA
C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
Dalam penelitian ini, variabel yang diteliti didefinisikan sebagai berikut :
1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
ISPA adalah penyakit infeksi saluran pernapasan yang bersifat akut dengan adanya batuk, pilek, serak, demam, baik disertai maupun tidak disertai napas cepat atau sesak napas, yang berlangsung sampai 14 hari.
Kriteria Objektif :
Menderita (1) : Bila hasil diagnosa dokter atau paramedis terlatih pada catatan medis menunjukkan balita menderita ISPA.
Tidak menderita (2) : Bila hasil diagnosa dokter atau paramedis terlatih pada catatan medis menunjukkan balita tidak menderita ISPA. (Depkes R.I., (2002)
2. Umur
Umur < 1 tahun dan 1 – 5 tahun merupakan matching dimana umur balita yang menjadi sampel kasus harus sama dengan umur balita yang menjadi kontrol.
3. Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki dan perempuan merupakan matching dimana jenis kelamin yang menjadi sampel kasus harus sama dengan jenis kelamin sampel kontrol.
4. Asap Dapur
Asap dapur adalah asap/polusi yang ditimbulkan oleh bahan bakar yang berasal dari kayu/arang yang digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak.
Kriteria Objektif :
Terpapar (1) : Bila asap dapur masuk dalam rumah dan terhirup oleh penghuni rumah. (Depkes R.I., (2002)
Tidak terpapar (2 : Bila asap dapur tidak masuk dalam rumah
5. Kebiasaan Merokok Dalam Rumah
Kebiasaan merokok dalam rumah yaitu terdapatnya seorang anggota keluarga atau lebih yang mengisap rokok dalam rumah.
Kriteria Objektif :
Ada (1) : Bila terdapat seorang atau lebih dalam rumah
Tidak ada (2) : Bila tidak terdapat perokok dalam rumah
(Depkes R.I., (2002)
6. ASI Ekslusif
ASI Ekslusif adalah memberikan ASI saja sampai bayi berumur 6 bulan, tanpa makanan dan minuman lainnya.
Kriteria Objektif :
ASI Ekslusif (1) : Bila sesuai dengan definisi tersebut di atas
Bukan ASI Ekslusif (2) : Bila tidak sesuai dengan definisi tersebut di atas. (Depkes R.I., (2002)
7. Status Imunisasi
Status imunisasi adalah pemberian imunisasi secara lengkap kepada bayi yaitu BCG 1 kali, DPT 3 kali, Polio 4 kali , hepatitis 3 kali serta campak 1 kali.
Kriteria Objektif :
Lengkap (1) : Bila pemberian imunisasinya lengkap
Tidak lengkap (2) : Bila pemberian imunisasinya tidak lengkap
(Depkes R.I., (2002)
8. BBLR
BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan < 2500 gram.
Kriteria Objektif :
BBLR (1) : Bila berat badan bayi baru lahir < 2500 gram
Bukan BBLR (2) : Bila berat badan bayi baru lahir = 2500 gram
(Depkes R.I., (2002)
D. Prosedur Penelitian / Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer dikumpulkan dengan cara melakukan wawancara langsung dengan responden berdasarkan daftar pertanyaan yang telah tersedia, baik itu data asap dapur, kebiasaan merokok dalam rumah, ASI esklusif, status imunisasi dan berat badan lahir rendah (BBLR).
2. Data Sekunder
Datas sekunder diperoleh dari hasil pencatatan dan pelaporan di Puskesmas Sampara, Dinkes Kabupaten Konawe, Dinkes Prop. Sultra dan instansi terkait lainnya.
E. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer melalui program Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows versi 12.0.
F. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan secara deskriptif dari masing-masing variabel dengan tabel distribusi frekuensi disertai penjelasan.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel dependent dan independent. Karena rancangan penelitian ini adalah case control, hubungan antara variabel independent dengan variabel dependen digunakan uji statistik Odds Ratio (OR) tabel kontigensi 2x2 dengan tingkat kepercayaan 95 % (a = 0,05). Berdasarkan hasil uji tersebut di atas ditarik kesimpulan dengan kriteria sebagai berikut :
a. Jika nilai p < a maka Ho ditolak, berarti ada hubungan antara variabel dependent dengan independent.
b. Jika nilai p = a maka Ho diterima, berarti tidak ada hubungan antara variabel dependent dengan independent.
G. Penyajian Data
Penyajian data dilakukan setelah data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi serta tabel analisis pengaruh antara variabel disertai narasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adningsih, 2003. Tidak Merokok Adalah Investasi, Interaksi Media Promosi Kesehatan Indonesia No XIV, Jakarta.
Agustina, 1999. Pencahayaan dan Perhawaan Terhadap Perumahan Penderita TB Paru, Cermin Dunia Kedokteran, No.84.
Alfrida, 2003. Perumahan Sehat, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes R.I. Jakarta.
Anonim, 1996. Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk penanggulangan Pnemonia pada Balita Dalam Pelita VI, Jakarta.
_______, 1999. Menanggulangi ISPA pada anak-anak, Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat , Jakarta.
_______, 2000. Batuk Pilek, Gejala Awal Pnemonia, Isakuiki.com.
_______, 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA untuk penanggulangan Pnemonia pada Balita, Jakarta.
_______, 2003. Waspdai ISPA.Indosiar.com.
_______, 2004. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta.
_______, 2007. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.
_______, 2007. Profil Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe. Provinsi Sultra, Kendari.
_______, 2008. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.
Anwar A, 1992, Pengaruh Pencemran Udara” Indoor” Pembakaran Biomassa Terhadap Kesehatan : Majalah Kesehatan Masyarakat,Jakarta.
Arikunto, 2003 Prosedur Penelitian Dan Waktu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta. Jakarta.
Asnih, 2006. Hubungan Pola Makan Tinggi Natrium, Kebiasaan Merokok dan Konsumsi Minuman Beralkohol Terhadap Kejadian Hipertensi Pada Penderita Hipertensi Esensial Rawat Jalan Di RSUD Provinsi Sultra, Kendari.
Budiyanto, 2002. Dasar-dasar ilmu gizi Universitas Muhammadiyah Malang Edisi Revisi.
Dahlan.S.2005. Besar Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Arkans. Jakarta.
Dachroni, 2002. Jangan Biarkan Hidup Dikendalikan Rokok. Interaksi Media Promosi Kesehatan Indonesia No XII , Jakarta.
________, 2003. Promosi Kesehatan Penanggulangan Masalah Rokok. Interaksi Media Promosi Kesehatan No XIV, Jakarta.
Dinkes Prov. Sultra, 2007. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari.
________, 2007 Manajemen BBLR Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara.
Dinkes Kab. Konawe, 2007. Laporan Tahunan Penyakit ISPA Dinas Kesehatan Konawe,Konawe.
________, 2006. Profil Puskesmas Sampara, Konawe.
________, 2007 Laporan Bulanan Penyakit Puskesmas Sampara, Konawe.
Depkes R.I., (2002) Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Ditjen PPM-PLP. Jakarta.
Dewi, N.H.,(1995) Faktor-faktor Risiko yang dapat Mempengaruhi Terjadinya Pneumonia Pada Anak Balita di Kabupaten Klaten. Tesis , UGM. Yogyakarta
Justin, 2006. Hubungan Sanitasi Rumah Tinggal Dengan Kejadian Penyakit Pneumonia, Unhalu, Kendari.
Kristina, H., (2000) “Analisis Faktor Risiko Terjadinya Penumonia Pada Anak Balita di Kabupaten Dati II Boyolali” .Tesis UGM. Yogyakarta.
Lajamudi, 2006, Hubungan Faktor Lingkungan dan Prilaku Dengan Kejadian ISPA.Unhalu Kendari.
Lubis, P., (1989) Perumahan Sehat. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes RI. Jakarta
Murti B, 1997 Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi, UGM, Yogyakarta.
Notoatmodjo S, 1996. Metode Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
________, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, RINEKA Cipta, Jakarta.
Salam, A.,(2006) Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita di Kabupaten Magelang. Tesis , UGM. Yogyakarta
Sastromoro S dan Ismael, 1995 Dasar- Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Inapura Aksara, Jakarta.
Soeharjo, 1992. Perencanaan Pangan Dan Gizi, Bumi Aksara, Jakarta.
Sukar, 1996. Pengaruh Kualitas Lingkungan Dalam Ruang ( Indoor ) Terhadap ISPA Pnemonia, Buletin Penelitian Kesehatan, Bandung.
Sunita A, 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Victoria, C.G., Sandra, C.F., Flores, J.A.C., Fonseca, W., Kirkwood, B., (1994) Risk Factors for Pneumonia Among Children in a Brazillian Metropolitan Area. J Pediatr, 93: 977-985.
klik image for ZoOm |