Sabtu, 05 Maret 2011

Filosofi Samurai dalam Budaya Jepang

Kita sering salah memahami kata samurai dengan mengartikannya sebagai nama jenis senjata. Padahal dalam budaya Jepang, samurai merujuk pada orang atau jalan hidup. Sedangkan senjata sejenis pedang yang selama ini banyak diartikan sebagai samurai, disebut katana. Katana merupakan senjata khas para samurai.

Definisi
Samurai/Ronin
Istilah samurai pada awalnya digunakan untuk menyebut orang yang mengabdi kepada bangsawan. Berawal dari kata “saburau” yang populer pada zaman Nara (710-784), yang pengucapannya bergeser menjadi saburai.

Pada zaman Kamamura abad ke-12, arti kata saburai bersisian dengan “bushi”, yang berarti: orang yang dipersenjatai. Lantas, kata saburai berubah menjadi samurai pada zaman Azuchi-Momoyama (1573-1600) dan awal zaman Edo (1603), yang memiliki arti “orang yang mengabdi”.

Pertempuran yang berkepanjangan masa itu, menimbulkan kematian di kalangan penguasa sehingga banyak samurai kehilangan tuannya. Mereka menjadi sekelompok samurai liar dan tidak terikat yang disebut dengan istilah ronin. Istilah ini muncul pertama kali pada zaman Muromachi (1392), dan semakin definitif pada zaman Edo (1603-1867).

Samurai memiliki posisi unik dalam struktur kekuasaan Jepang masa lalu. Berawal dari kekacauan politik akibat pajak yang berat dan memicu pemberontakan di banyak tempat, penjarahan terhadap tuan tanah, memaksa mereka mempersenjatai keluarga dan para petani, dari sini nanti lahir kelas samurai.

Pada masa Hojo (1199-1336), ajaran Zen berkembang di kalangan samurai, dan menjadi gerakan massal yang melahirkan ciri bahwa para samurai menganut paham keseimbangan dalam falsafah hidup mereka.

Pada masa Hojo (1199-1336), ajaran Zen berkembang di kalangan samurai, dan menjadi gerakan massal yang melahirkan ciri bahwa para samurai menganut paham keseimbangan dalam falsafah hidup mereka.

Filosofi Kematian
Samurai memiliki pandangan unik tentang kematian. Menjelang peperangan Hakagure, seorang tokoh samurai menulis buku berjudul Hakagure, yang menjadi rujukan awal filosofi kematian. Pada bagian pendahuluan buku ini tertulis: “Jalan Samurai ditemui dalam kematian. Apabila tiba kepada kematian, yang ada hanya pilihan yang pantas untuk kematian."
“Jalan Samurai ditemui dalam kematian. Apabila tiba kepada kematian, yang ada hanya pilihan yang pantas untuk kematian.”
Kalimat yang bias dan multitafsir pada buku tersebut diduga telah membawa panji samurai ke arah kemelaratan dan kesesatan. Buku tersebut melahirkan budaya tentang cara kematian yang dipilih, yaitu:
  1. Mati di medan pertempuran adalah cara yang paling terhormat. Para samurai menyukai mati di dalam pertempuran daripada tertangkap musuh.
  2. Seppuku
    Seppuku, adalah tindakan bunuh diri dengan cara menyobek perut. Seppuku sangat populer dalam mitos samurai. Seppuku dianggap sebagai tindakan gagah berani.
  3. Junshi, adalah seppuku yang dilakukan sebagai tanda kesetiaan kepada raja, sebagaimana dilakukan Jeneral Nogi Maresue semasa Maharaja Meiji. Junshi dinilai merugikan negara sehingga sempat dilarang pada zaman Edo.
  4. Sokotsu-shi, adalah seppuku yang dilakukan untuk menebus kesalahan. Jenderal Yamamoto Kansuke Haruyuki (1501-1561) melakukan sokotsu-shi karena membuat kesalahan fatal yang menyebabkan Kaisar Takeda berada dalam bahaya.
Setelah kurun yang lama, pandangan tentang bunuh diri sebagai tindakan terhormat mengalami pergeseran dan mulai dianggap sebagai tindakan yang sia-sia.

Filosofi Samurai
Samurai memiliki seragam kebesaran dengan simbol bulan sabit di atas helm. Jalan hidup samurai yang mengambil inti ajaran Zen, menekankan bahwa ketenangan jiwa dan keyakinanan hati adalah sumber kehidupan.

Hal mendasar, adalah ajaran menjunjung tinggi kejujuran. Jujur kepada diri sendiri dan orang lain. Karena itu, berbohong adalah aib yang tak mungkin ditanggung.

Bunga sakura simbol samurai mengandung muatan filosofis pentingnya menghargai waktu. Sebab, sakura hanya bersemi dan berbunga dalam waktu singkat seperti umur manusia. Karena itu, tidak boleh ada penyesalan di dalamnya.

Samurai juga menjunjung tinggi nilai keadilan. Kenshin Uesugi, tokoh samurai, menolak ambil bagian dalam sebuah pertarungan jika tidak melihat ada keadilan di dalamnya.

Bagi samurai, pertempuran adalah sesuatu yang sakral. Ada etika ketat dalam pertempuran samurai, yaitu:
  • Tidak boleh menyerang dari belakang.
  • Harus dilakukan dengan keindahan dan harga diri.
  • Harus dilakukan sampai tuntas.
  • Pedang adalah simbol spiritual dan komitmen.
Kenshin Uesugi

Samurai Tanpa Pedang
Toyotami Hedeyoshi, pemimpin legendaris Jepang abad ke-16, dianggap tokoh fenomenal yang mengembangkan paham samurai tanpa pedang, berprinsip: “Prajurit terbaik tidak pernah menyerang, prajurit terhebat berhasil tanpa kekerasan, dan penakluk terbesar menang tanpa perang."
“Prajurit terbaik tidak pernah menyerang, prajurit terhebat berhasil tanpa kekerasan, dan penakluk terbesar menang tanpa perang." (Toyotami Hedeyoshi)
Hideyoshi (1536-1598) mampu menyatukan Jepang pada masa paling krusial, perang antar-klan, dan mewariskan falsafah kepemimpinan yang tetap relevan hingga zaman modern. Ia terlahir dari kalangan petani miskin di Provinsi Owari, dengan nama Nakamura. Perawakannya kecil, mukanya jelek sehingga sering disebut “wajah monyet,” dan tidak berpendidikan.

Singen Harunobu Takeda mengatakan: “Memenangkan ratusan peperangan bukanlah kebanggaan. Tapi, kemenangan tanpa peperangan adalah kebanggaan yang sesungguhnya."
“Memenangkan ratusan peperangan bukanlah kebanggaan. Tapi, kemenangan tanpa peperangan adalah kebanggaan yang sesungguhnya.” (Takeda Harunobu)

Miyamoto Musashi, samurai terbesar dalam sejarah, mengatakan bahwa, “Jurus tertinggi ilmu pedangku adalah ketiadaan."
“Jurus tertinggi ilmu pedangku adalah ketiadaan.” (Miyamoto Musashi)
Inilah inti yang sesungguhnya, bahwa kekuatan utama bukanlah pada fisik, tetapi hati. Maka, kejujuran dan sikap melindungi adalah filosofi sesungguhnya dari jalan samurai.
.
.

◄ Newer Post Older Post ►