Rabu, 09 Februari 2011

Perilaku Melakukan Pengobatan Sendiri

Perilaku Melakukan Pengobatan Sendiri


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sehat itu mahal. Ungkapan itu benar adanya. Jika kita sakit berapa biaya yang harus dikeluarkan. Biaya obat, biaya dokter, dan biaya rumah sakit, apalagi jika sakit sampai berhari-hari. Karena itu, untuk mengantisipasi biaya sakit, sekarang ini banyak orang menyiasatinya dengan berlindung kepada asuransi, ataupun dengan melakukan pengobatan sendiri.
Banyak sekali masyarakat yang bisa kita lihat di apotik-apotik maupun di banyak toko obat yang membeli obat untuk melakukan pengobatan sendiri, tetapi kebanyakan masyarakat yang berperilaku melakukan pengobatan sendiri ini menderita penyakit yang ringan.
Pengertian sakit berkaitan dengan gangguan psikososial yang dirasakan seseorang, sedangkan penyakit berkaitan dengan gangguan yang terjadi pada organ tubuh berdasarkan diagnosis profesi kesehatan. Sakit (illness) merupakan keluhan yang belum tentu karena penyakit (disease), tetapi selalu mempunyai relevansi psikososial. (Rosenstock, 1974). Perilaku sakit adalah setiap kegiatan yang dilakukan orang sakit untuk menjelaskan keadaan kesehatannya dan mendapatkan pengobatan yang sesuai (Kasl, 1966).
Di Indonesia, penduduk yang mengeluh sakit selama 1 bulan terakhir pada tahun 2004 sebanyak 24,41.%. Upaya pencarian pengobatan yang dilakukan masyarakat yang mengeluh sakit sebagian besar adalah pengobatan sendiri (87,37. %). Sisanya mencari pengobatan antara lain ke puskesmas, paramedis, dokter praktik, rumah sakit, balai pengobatan, dan pengobatan tradisional (Anonim, 2005).
Studi mengenai pengambilan keputusan untuk pencarian pengobatan sakit umumnya menyangkut tiga pertanyaan pokok, yaitu sumber pengobatan apa yang menurut anggota masyarakat mampu mengobati sakitnya, kriteria apa yang dipakai untuk memilih salah satu dari beberapa sumber pengobatan yang ada, dan bagaimana proses pengambilan keputusan untuk memilih sumber pengobatan tersebut (Young, 1980).
Sumber pengobatan di dunia mencakup tiga sektor yang saling terkait, yaitu pengobatan rumah tangga atau pengobatan sendiri, pengobatan medis, dan pengobatan tradisional. Persentase terbesar masyarakat memilih pengobatan sendiri untuk menanggulangi keluhannya. Pengobatan sendiri adalah upaya pengobatan sakit menggunakan obat, obat tradisional atau cara tradisional tanpa petunjuk ahlinya.
Perilaku pengobatan sendiri menggunakan obat tradisional merupakan salah satu perilaku kesehatan. Setiap perilaku kesehatan dapat dilihat sebagai fungsi pengaruh kolektif dari (a) faktor predisposisi antara lain pengetahuan, sikap, dan persepsi, (b) faktor pemungkin antara lain biaya dan jarak, dan (c) factor penguat antara lain dorongan social.
Kriteria yang dipakai untuk memilih sumber pengobatan menurut Young (1980) adalah pengetahuan tentang sakit dan pengobatannya, keyakinan terhadap obat/ pengobatan, keparahan sakit, dan keterjangkauan biaya, dan jarak ke sumber pengobatan. Dari empat kriteria tersebut, keparahan sakit merupakan factor yang dominan.


BAB II
PEMBAHASAN

Perilaku pengobatan sendiri adalah upaya yang dilakukan orang awam untuk mengatasi sakit atau keluhan yang dialaminya, tanpa bantuan tenaga ahli medis/tradisional. Pengobatan sendiri dapat menggunakan obat, obat tradisional atau cara tradisional. Obat yang digunakan umumnya golongan obat bebas dan obat bebas terbatas. Sedangkan obat tradisional yang digunakan meliputi simplisia, jamu gendong dan jamu berbungkus.
Berkaitan dengan pengobatan sendiri, telah dikeluarkan berbagai peraturan perundangan. Pengobatan sendiri hanya boleh menggunakan obat yang termasuk golongan obat bebas dan obat bebas terbatas (SK Menkes No.2380/1983). Semua obat yang termasuk golongan obat bebas dan obat bebas terbatas wajib mencantumkan keterangan pada setiap kemasannya tentang kandungan zat berkhasiat, kegunaan, aturan pakai, dan pernyataan lain yang diperlukan (SK Menkes No.917/1993). Semua kemasan obat bebas terbatas wajib mencantumkan tanda peringatan “apabila sakit berlanjut segera hubungi dokter” (SK Menkes No.386/1994).
Konsep sehat dan sakit
Hasil wawancara dengan salah satu informan, yaitu salah satu mahasiswa semester 4 Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman, menurutnya sehat sama seperti apa yang di jelaskan oleh UU Kesehatan no.23 tahun 2004. “sehat menurut saya adalah keadaan sejahtera baik fisik, psikis, dan juga ekonomi”.
Selanjutnya menurut informan, “sakit merupakan semua hal yang tak seperti biasanya yang dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari yang ditandai dengan penurunan fungsi atau etos kerja”.
“aku awalnya di diemin aja, udah gitu aku suka di pijitin dulu atau istirahat gitu, kalo tetep sakit baru pake obat-obatan yang di jual di warung aja”
“kalo sakit kepala pake oskadon gitu, batuk pake inza forte, pilek juga pake inza forte, batuk pake konidin, pokoknya mah yang ada di warung aja”.
Informan mengaku bahwa pada awal gejala menderita sakit tidak langsung melakukan pengobatan, tetapi di diamkan atau dengan melakukan istirahat, tetapi jika penyakit tidak kunjung sembuh, informan membeli obat-obat yang di jual di warung.
“dalam tiap kemasannya kan selalu ditulis tuh, minum sekali satu tablet nggak boleh lebih, mungkin itu aja acuannya lah. Aman atau enggaknya mah nggak tau, mungkin tergantung ada alergi atau enggak aja terhadap jenis obat. Kebetulan aku nggak punya alergi obat gitu jadi aman-aman ja di konsumsi”.
Disini diketahui bahwa informan belum begitu mengetahui tentang obat-obat yang aman ataupun tidak, tetapi sudah mematuhi anjuran yang tertera pada kemasan obat tersebut.
Dalam wawancara ini informan mengatakan bahwa pengobatan sendiri sebenarnya tidak bagus, karena kita tidak mengetahui penyakit apa yang sebenarnya ada pada diri kita. Informan mengatakan bahwa, “bisa saja yang kita obati itu adalah gejala awal saja tetapi penyakit yang sebenarnya ada pada tubuh kita belum di sembuhkan”.
Dapat dikatakan, dalam hal ini informan mengetahui pengetahuan yang cukup mengenai penyakit maupun pengobatan.
Selanjutnya informan menympaikan alasan ia melakukan pengobatan sendiri, “tuntutan ekonomi dan alasan dari yang sebelum-sebelumnya, kalo pengobatan kayak gitu biasanya sembuh, makanya dilakukan aja terus”.
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, dapat di kaitkan dengan teori respone bertahan (coping respone theory) oleh Mechanics, yaitu terdapat dua perilaku:
a. Perilaku sehat : mempertahankan kesehatan.
Pada awalnya informan tidak mau mencari proses penyembuhan atau bertahan untuk mempertahankan kesehatannya. Seperti yang disampaikan informan pada awal wawancara, yaitu “aku awalnya di diemin aja, udah gitu aku suka di pijitin dulu atau istirahat gitu”.
b. Perilaku sakit : mencari proses penyembuhan.
Ada beberapa factor pencetus perilaku sakit, yaitu:
• Persepsi yang dipengaruhi oleh orientasi medis dan sosio budaya.
• Intensitas gejala (menghilang atau menetap).
• Motivasi individu (mengatasi gejala).
• Social psychologis
Dari keempat factor tersebut, informan melakukan perilaku sakit disebabkan oleh factor yang kedua, yaitu intensitas gejala yang menetap, sehingga informan mulai berusaha mencari pengobatan. Dalam hal ini informan mencari pengobatan dengan melakukan pengobatan sendiri, yaitu dengan meminum obat yang di belinya sendiri di toko obat.
Jika dikaitkan dengan teori Snehandu B.Kar yaitu: B = f (BI, SS, AI, PA, AS).
Dimana,
BI = Behavior Intention (niat untuk bertindak)
Dari wawancara diatas disebutkan bahwa niat informan untuk bertindak mengobati rasa sakitnya disebabkan karena rasa sakit yang dideritangnya tak kunjung sembuh, sehingga informan melakukan pengobatan sendiri dengan memmbeli obat yang dijual di took obat.
SS = Sosial Support (dukungan masyarakat)
Dukungan masyarakat yang memungkinkan informan hanya membeli obat generic untuk menyembuhkan pengakitnya. Dan juga keadaan lingkungan, dimana informan merupakan anak kos yang biasanya jarang sekali melakukan pengobatan pada pelayanan kesehatan.
AI = Accessebility of Information (adanya informasi)
Dalam hal ini informan melakukan pengobatan karena adanya alasan atau informasi dari orang sekitar yang mengatakan bahwa dengan melakukan pengobatan sendiri, membeli obat generic, informan juga bisa sembuh.
PA = Personal Autonommy (pengambilan keputusan)
Informan melakukan pengobatan sendiri atas kemauannya sendiri, karena informan merupakan anak kos yang jauh dari orang tua maupun saudaranya, maka ia memutuskan untuk melakukan pengobatan sendiri dengan membeli obat generic.
AS = Action Situation (Situasi yang mendukung)
Situasi yang mendukung informan melakukan pengobatan sendiri yaitu situasinya sebagai anak kuliah yang ngekos disekitar kampusnya, mmemungkinkan ia melakukan pengobatan sendiri.

1. Hubungan antara pengetahuan dan sikap tentang pengobatan sendiri dengan perilaku pengobatan sendiri yang rasional
Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0,05). Keeratan hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pengobatan sendiri adalah lemah (r = 0,253). Keeratan hubungan antara sikap dengan perilaku pengobatan sendiri adalah sedang (r = 0,346). Pola kedua hubungan tersebut adalah positif. Artinya, semakin baik pengetahuan, sikap tentang pengobatan sendiri maka semakin rasional pula perilaku pengobatan sendirinya, demikian juga sebaliknya. Menurut Soejoeti (2005), ada 3 faktor yang menyebabkan timbulnya perubahan, pemahaman, sikap dan perilaku seseorang, sehingga seseorang mau mengadopsi perilaku baru yaitu: (1) kesiapan psikologis, ditentukan oleh tingkat pengetahuan, kepercayaan, (2) adanya tekanan positif dari kelompok atau individu dan (3) adanya dukungan lingkungan. Dijelaskan juga oleh Green dkk. (2000) bahwa mewujudkan sikap menjadi perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Faktor yang mendukung tersebut adalah: 1) faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, keyakinan, persepsi), (2) faktor pendukung (akses pada pelayanan kesehatan, keterampilan dan adanya referensi), (3) faktor pendorong terwujud dalam bentuk dukungan keluarga, tetangga, dan tokoh masyarakat. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Supardi, dkk.(2002) yang menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap berhubungan dengan perilaku pengobatan sendiri. Dharmasari (2003) juga menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap berhubungan dengan pengobatan sendiri yang aman, tepat, dan rasional.
2. Hubungan antara faktor sosiodemografi dengan perilaku pengobatan sendiri yang rasional
Hasil penelitian Hebeeb dan Gearhart (1993), Worku dan Abebe (2003), yang menyatakan jenis kelamin berhubungan dengan perilaku pengobatan sendiri. Tse, et al., (1999), dalam penelitiannya menemukan bahwa responden perempuan lebih banyak melakukan pengobatan sendiri secara rasional. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, responden perempuan banyak terlibat dalam pengobatan anggota keluarganya dibandingkan dengan responden laki-laki. Dengan demikian, baik langsung ataupun tidak, hal tersebut akan mempengaruhi perilaku pengobatan sendiri.
3. Faktor dominan dalam hubungan antara faktor sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap dengan perilaku pengobatan sendiri yang rasional
Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, pengetahuan dan sikap tentang pengobatan sendiri secara bersama-sama memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku pengobatan sendiri. Hasil analisis multivariate menunjukkan variabel umur dan pendapatan tidak berhubungan dengan perilaku pengobatan sendiri. Berdasarkan nilai Wald, dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan antara pendidikan dengan perilaku pengobatan sendiri paling kuat dibandingkan dengan keempat variabel lainnya. Kekuatan hubungan jika diurutkan mulai dari yang terkuat kemudian semakin lemah adalah variabel pendidikan, sikap, pekerjaan, jenis kelamin dan yang terakhir pengeahuan tentang pengobatan sendiri.
Keuntungan pengobatan sendiri menggunakan obat bebas dan obat bebas terbatas antara lain: aman bila digunakan sesuai dengan aturan, efektif untuk menghilangkan keluhan (karena 80.% keluhan sakit bersifat selflimiting), efisiensi biaya, efisiensi waktu, bisa ikut berperan dalam mengambil keputusan terapi, dan meringankan beban pemerintah dalam keterbatasan jumlah tenaga dan sarana kesehatan di masyarakat (Holt dan Edwin, 1986).

BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN
1. Sumber pengobatan di dunia mencakup tiga sektor yang saling terkait, yaitu pengobatan rumah tangga atau pengobatan sendiri, pengobatan medis, dan pengobatan tradisional. Persentase terbesar masyarakat memilih pengobatan sendiri untuk menanggulangi keluhannya.
2. Perilaku pengobatan sendiri adalah upaya yang dilakukan orang awam untuk mengatasi sakit atau keluhan yang dialaminya, tanpa bantuan tenaga ahli medis/tradisional.
3. Teori respone bertahan (coping respone theory) oleh Mechanics, yaitu terdapat dua perilaku: perilaku sehat (mempertahankan kesehatan) dan perilaku sakit (mencari proses penyembuhan).
4. Teori Snehandu B.Kar yaitu: B = f (BI, SS, AI, PA, AS). Dimana, BI = Behavior Intention (niat untuk bertindak), SS = Sosial Support (dukungan masyarakat), AI = Accessebility of Information (adanya informasi), PA = Personal Autonommy (pengambilan keputusan), AS = Action Situation (Situasi yang mendukung).
5. Ada beberapa factor pencetus perilaku sakit, yaitu:
• Persepsi yang dipengaruhi oleh orientasi medis dan sosio budaya.
• Intensitas gejala (menghilang atau menetap).
• Motivasi individu (mengatasi gejala).
• Social psychologis
6. Terdapat beberapa hubungan terkait dengan pengobatan sendiri, yaitu:
• Hubungan antara pengetahuan dan sikap tentang pengobatan sendiri dengan perilaku pengobatan sendiri yang rasional
• Hubungan antara faktor sosiodemografi dengan perilaku pengobatan sendiri yang rasional
• Faktor dominan dalam hubungan antara faktor sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap dengan perilaku pengobatan sendiri yang rasional.

B.SARAN
1. Perilaku melakukan pengobatan sendiri merupakan hal yang baik, akan tetapi jika tidak mengetahui penyakit yang di derita dengan pasti, maka sebaiknya mencari pengobatan pada pelayanan kesehatan seperti ke dokter atau ke rumah sakit agar tidak melakukan pengobatan sendiri yang salah.
2. Sebaiknya jika menderita sakit, segera periksa pada pelayanan kesehatan yang ada, sehingga penyakit yang di derita tidak berlarut-larut dan menyebabkan penyakit semakin parah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2005, Statistik Indonesia 2004, Jakarta: BPS, 135-136.
Anonim, Departemen Kesehatan. 1983. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2380/A/SK/VI/83 tentang Tanda Khusus Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Pasal 1 ayat 2 & 5, Pasal 3.
Dharmasari, S., 2003, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pengobatan Sendiri yang Aman, Tepat dan Rasional pada Masyarakat Kota Bandar Lampung Tahun 2003, (http://www.digilib.ui.ac.id).
Departemen Kesehatan. 1994. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 386/Menkes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas. Bab umum.
Green, L. W., Kreuter, M. W., Deeds, S. G., & Patridge, K. B, 2000, Health Promotion Planning An Educational and Environmental Approach, Second Edition, California: Mayfield Publising Company.
Hebeeb, G. E., dan Gearhart, J. G., 1993, Common patient symptoms: patterns of self-treatment and prevention. J. Miss. State. Med. Assoc., (Online), 34 (6), http://pubmedcentral.nih.gov.
Holt, G. A., dan Edwin, L. H., 1986. The pros and cons of self-medication, Journals of harmaceutical Technology., September/October. Pp. 213-218.
Kasl, Stanislav & Sidney Cobb. 1966. “Health Behavior, Illness Behavior and Sick Role Behavior”. Dalam Archives of Environmental Health, 12: 246-266.
Kristina Susi, dkk. Perilaku pengobatan sendiri yang rasional pada masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten Sleman. Majalah Farmasi Indonesia, 19(1), 32 – 40, 2008.
Rosenstock, Irwin M., 1974. “The Health Belief and Preventive Health Behavior”. Dalam Health Education Monograph, 2(4): 354.
Supardi, Sudibyo, dkk. 2005. Pengobatan sendiri sakit kepala, demam, batuk dan pilek pada masyarakat di desa ciwalen, kevamatan warungkondang, kabupaten cianjur, jawa barat.Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.3, Agustus 2005, 134 – 144.
Young, James C., 1980. “A model of Illness Treatment Decisions in a Tarascan Town”. Dalam American Ethnologist, 7(1): 106-131.
◄ Newer Post Older Post ►