Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) mengumumkan hasil survei terbarunya mengenai ketenagakerjaan di dalam negeri. Dari survei tersebut OPSI berkesimpulan PHK sepanjang tahun 2009 diproyeksikan bakal dialami oleh 2,657 juta orang pekerja.
Di sisi lain,OPSI melihat defisit antara upah diterima dengan konsumsi yang dikeluarkan pekerja kian melebar. Survei bertajuk "Indeks Daya Beli Pekerja & Indeks Persepsi Pekerja" tersebut digelar OPSI pada sejumlah industri penyerap tenaga kerja di empat kota, yakni Medan, Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya.
Presiden OPSI Yanuar Rizky mengungkapkan, hasil rekonfirmasi data antara indeksdaya belipekerja-OPSIdengan kondisi penjualan serta tren respons efisiensi yang diarahkan perusahaan, menghasilkan angka risiko 9,49 persen dari 28 juta pekerja formal di seluruh sektor industri. Dengan kata lain, 2.657.200 orang terancam PHK.
"Kita tentu kaget, jika mendengar 2,65 juta orang terancam PHK.Tapi suka tidak suka, tren menunjukan PHK telah terjadi, meski saat ekonomi baik," ujar Yanuar di Jakarta Kamis 6 Februari kemarin.
Proyeksi itu, tegas dia, tidaklah berlebihan. Pasalnya, dengan menggunakan metode penghitungan berbeda, proyeksi sejumlah lembaga seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) juga memperoleh angka risiko 9-10 persen.
Terkait daya beli pekerja, lanjut Yanuar, perkembangannya mengalami pelemahan hingga 21,18 persen secara tahunan (year on year), meski menguat tipis 1,17 persen dalam hitungan triwulan IV dibanding triwulan sebelumnya. Hitungan ini didapat dari survei OPSI pada 1.000 responden dengan tingkat upah Rp1-15 juta per bulan di empat kota.
Pelemahan indeks daya beli tahunan, tutur dia, terjadi karena rata-rata biaya pengeluaran untuk komoditas utama seperti pangan tetap tinggi.Terkait daya beli tersebut, lanjut dia, survei menemukan adanya pertumbuhan defisit antara upah dan konsumsi pekerja hingga 3,61 persen. Pada triwulan IV/ 2008, belanja konsumsi seorang pekerja mencapai 233,9 persen, naik dari 229,23 persen triwulan sebelumnya.
"Defisitnya dihitung antara asumsi upah yang diterima 100 persen dikurang belanja upah. Bila konsumsinya 233,9 persen dikurangi upah 100 persen, maka pekerja harus menomboki biaya pengeluaran sebesar 133,9 persen," paparnya. Defisit antara upah dengan konsumsi ini menyebabkan tingginya ketergantungan pekerja pada alternatif pembiayaan kartu kredit, yakni menjadi sebesar 55,11 persen.
Selanjutnya adalah ketergantungan utang kepada koperasi karyawan 29,55 persen dan utang kepada keluarga 9,33 persen. Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Reformasi Ari Sunarijati menilai, terus melebarnya defisit antara tingkat upah dan konsumsi yang dibayarkan pekerja sulit dihindari.
Pasalnya,hingga saat ini syarat-syarat tingkat kelayakan hidup pekerja belum sepenuhnya dipenuhi pengusaha sesuai Undang-Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Berdasar UU itu, ada sekitar 55 item untuk bisa dikatakan hidup layak. Dari jumlah itu hanya 43 item yang disepakati untuk dipenuhi pengusaha setelah campur tangan pemerintah," katanya.