SERAMBI Indonesia, 21 Maret 2011 kembali memberitakan nestapa peternak ayam. Inti berita dimaksud adalah, ‘“Banyak peternak ayam sekarang sekarat. Tidak sedikit kandang ayam kini sudah pada kosong. Hal ini tak lain, dikarenakan sudah hampir setahun ini bibit ayam (DOC/Day Old Chick) langka dipasaran”.
Sebetulnya, berita tentang kepedihan yang tak terpana di kalangan usahawan ternak ayam dan hambatan pengembangan komoditi ayam pedaging dan telur Ayam di Aceh bukanlah berita baru, tetapi justeru hanya sekadar info biasa belaka. Dikatakan ia bukan berita, karena berita semacam itu sudah amat sering disiarkan media.
Info klasik yang menyedihkan ini mestilah menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan Pemerintah. Saya yakin, bahwa jika tidak diambil langkah-langkah antisipatif dalam rangka mengubah fenomena ini, tentulah di masa depan nasib peternak ayam akan terulang lagi, dan info yang menggeramkan ini akan muncul lagi di media massa. Karena itu, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang penyebab munculnya fenomena semacam ini. Tak ada asap tanpa ada api. Begitu juga halnya kegagalan demi kegagalan yang dihadapi para peternak ayam di Aceh selama ini. Setiap akibat, pasti ada penyebabnya.
Penyakit tak akan pernah sembuh jika tanpa diketahui dan kemudian dieliminir biang kerok penyebab dari munculnya penyakit berkenaan. Itu sebabnya, identifikasi masalah dengan melakukan diagnosis akar masalah menjadi sangat penting. Jika tanpa pemahaman yang baik tentang akar masalah, maka dikuatirkan kebijakan yang diambil Pemerintah cenderung menghasilkan solusi jangka pendek. Begitu juga halnya fenomena langkanya DOC di pasar, harga pakan yang semakin tak terkendali, dan sebagian besar kebutuhan daging ayam dan telur ayam dipasok dari luar Aceh. Fenomena umum yang sudah lama berlangsung ini harus dikaji penyebabnya. Kalau tidak diketahui penyebabnya, sampai kiamat pun permasalahan peternak ayam ini tak pernah terselesaikan.
Kebijakan yang dilakukan selama ini, persis seperti dokter yang hanya memberi obat penurun panas saja. Sejak zaman orde baru, mungkin telah ratusan miliar rupiah anggaran belanja pemerintah dikucurkan dengan cara membagi bibit ayam, bibit sapi, dan pakan ayam kepada masyarakat. Hasilnya? bagaikan tak berbekas! Buktinya, sampai sekarang harga daging di Aceh masih menempati urutan termahal di Indonesia. Sejak lama sebagian besar kebutuhan daging ayam dan telur untuk konsumsi masyarakat Aceh dimasukkan dari luar Aceh.
Diagnosis akar masalah
Agar tidak jatuh ke dalam lubang yang sama, ada baiknya kita mencoba memahami akar permasalahan di balik fenomena peternakan ayam ini. Untuk memahami akar permasalahan ini, perlu kita jawab sejumlah pertanyaan berikut: “Siapakah pemasok DOC dan atau pakan ayam? Apakah pemasok yang berkenaan menjalankan bisnis secara inside trading, yaitu disamping memroduksi dan menjual DOC dan pakan ayam, juga memroduksi ayam pedaging atau telur ayam? Adakah pemasok DOC atau pakan ayam cenderung bertindak secara monopolistik?
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, menyebutkan bahwa produsen utama DOC dan pakan ayam di Sumatra Utara dan Aceh adalah PT Charoen Pokphand Indonesia (CPIN). Saya tak tahu persis, adakah CPIN memiliki anak perusahaan atau sekurang- kurangnya memiliki hubungan istimewa dengan produsen ayam pedaging atau telur ayam tertentu. Jika ya, tentu telah terjadi persaingan bisnis diperingkat produsen ayam pedaging dan telur ayam secara tidak sehat.
Namun untuk memperjelas persoalan ini, izinkan saya, berikut ini saya mengutip pernyataan Muhammad Amir Usman, Sekretaris Asosiasi Peternak Ayam Broiler yang dipublikasikan Waspada Online, 8 November 2010.
Pernyataannya adalah sebagai berikut: “PT Phokpan masuk ke Aceh dengan dalih ingin membentuk perternak plasma inti, tapi ternyata itu hanya kedok. Mereka masuk ke Aceh hanya ingin menguasai pasar dengan cara menjual ayam broiler dengan harga murah.” Kalau benar apa yang disampaikan M. Amin Usman, jelas CPIN telah melanggar etika bisnis dan tentu peristiwa ini merupakan suatu petaka yang amat tragis bagi usahawan peternak ayam di Aceh. Dan, akan lebih parah lagi seandainya perusahaan CPIN memonopoli penjualan DOC dan pakan ayam.
Rekomendasi Solusi
Berdasarkan permasalahan yang telah dibahas sebelumnya, maka pemerintah Aceh harus merombak total paradigma dan strategi meraih swasembada daging dan telur ayam di Aceh, dengan merancang grand strategi pengembangan peternakan ayam secara terintegrasi yang melibatkan sejumlah stake holder, antara lain Bank Indonesia, Bank Operasional, Usahawan dan Perguruan Tinggi.
Pemerintah dan Bank Indonesia perlu merancang skim dengan pola bunga bersubsidi, yaitu dengan menempatkan dana bantuan likuiditas perbankan pada bank opersional. Kemudian, dengan mekanisme standar perbankan, pihak bank operasional dapat memberikan kredit bersubsidi kepada usahawan yang ikut dalam program swasembada ayam pedaging dan telur ini. Usahawan yang boleh ikut program ini adalah individu-individu yang terpilih melalui seleksi yang ketat berdasarkan kepada kompetensi, kapabelitas, jujur dan memiliki etos kerja yang tinggi.
Dalam rangka implimentasi grand strategi pengembangan peternakan ayam ini, pemerintah dapat membentuk entitas organisasi kecil yang bertugas mencetak usawahan-usahawan baru melalui pendekatan inkubasi. Usahawanusahawan baru ciptaan unit ini bisa berasal dari lulusan–lulusan perguruan tinggi yang masih segar, namun memiliki semangat entrepreuneur yang tinggi.
Dan, juga bisa dengan cara melatih dan mengembangkan peternak ayam yang selama ini telah menceburi bisnis ini. Perguruan tinggi mesti diajak untuk merancang sistem yang memungkinkan entitas terkait bekerja dalam sistem yang terintegrasi. Entitas yang bergerak di sektor produsen DOC mesti diintegrasikan dengan entitas yang menghasilkan ayam pedaging dan produsen telur.
Selain itu, harus dapat pula dikaitkan antara peternak, pabrik pengolahan pakan, agen pengumpul jagung dan kedelai, petani jagung dan kedelai, serta usaha yang bergerak di sektor jasasaprodi dan traktor yang dapat membantu petani dalam rangka proses menghasilkjan kedelai dan jagung sebagai bahan baku utama pakan ayam.
Penerapan grand strategi yang dikembangkan ini, diharapkan sepenuhnya menganut sistem bisnis. Karena itu, pemerintah tidak diperkenankan berbisnis, namun pemerintah diberi peranan yang amat strategis, yaitu sebagai motivator dalam menggerakkan pebisnis, menciptakan suasana bisnis yang nyaman dan kondusif, merancang regulasi dan tatakelola bisnis ayam, mendisain skim kredit bersama Bank Indonesia, dan memfasilitasi erolehan kredit bersubsidi dari bank operasional. Semoga swasembada telur dan daging ayam segera terwujud. Insya Allah.
Penulis adalah adalah Guru Besar di Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala.