Tahun lalu, ketika ibu saya berkunjung, ia mengajak saya untuk berbelanja bersamanya karena dia membutuhkan sebuah gaun yang baru. Saya sebenarnya tidak suka pergi berbelanja bersama orang lain, termasuk bersama ibu saya. Saya bukanlah orang yang sabar. Tapi saya putuskan untuk pergi juga dengannya.
Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita. Ibu saya mencoba gaun demi gaun lalu mengembalikan semuanya. Seiring hari yang berlalu, saya mulai merasa lelah, gelisah sedangkan ibu mulai frustasi. Akhirnya di toko terakhir yang kami kunjungi, ibu mencoba satu stel gaun biru yang cantik, terdiri dari tiga helai. Karena ketidaksabaran saya, maka untuk kali ini saya ikut masuk dan mencoba membantunya biar semuanya cepat beres.
Saya melihat bagaimana ia mencoba pakaian tersebut dan dengan susah mencoba mengikat tali yang ada pada baju itu. Saya melihat bagaimana susahnya tangan-tangan itu mencoba memakai gaun ke tubuhnya akibat penyakit radang sendi.
Seketika itu juga, ketidaksabaran saya hilang. Dada saya sesak, saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata yang keluar tanpa saya sadari. Setelah tenang kembali, saya masuk lagi ke kamar ganti itu dan membantunya mengikatkan tali pada gaun tersebut. Pakaian itu begitu indah dan ibu membelinya. Perjalanan kami telah berakhir tapi kejadian terukir di dalam ingatan saya. Bagaimana gemetarnya tangan ibu.
Kedua tangan yang penuh kasih, yang pernah menyuapi saya, memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memeluk saya, dan terlebih dari semuanya, berdoa untuk saya. Sekarang tangan itu telah menyentuh hati saya dengan cara yang paling membekas dalam hati saya.
Sore hari itu, saya pergi ke kamar ibu saya, mengambil tangannya dan menciumnya. Saya mengatakan pada ibu, kedua tangan itu adalah tangan yang paling indah di dunia ini. Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah membuat saya dapat melihat dengan mata yang baru, betapa bernilai dan berharganya kasih sayang yang penuh pengorbanan dari seorang ibu.
.
.