Suatu hari sahabat Abu Dzar al-Ghiffari memohon kepada Rasulullah SAW untuk mengabdikan diri sebagai pemimpin di daerah seperti sahabat lainnya.
Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau hendak menggunakan (jasa)-ku?” Namun, Rasulullah SAW yang mengetahui karakter para sahabatnya mengetahui bahwa Abu Dzar tidak cocok untuk menjadi seorang pemimpin. “Wahai Abu Dzar, engkau itu lemah (dalam kepemimpinan), dan kepemimpinan itu ialah amanah dan akan menjadi kehinaan serta penyesalan pada Hari Kiamat.”
Sungguh, Rasulullah SAW tidak meragukan kesalehan dan ketakwaan Abu Dzar al-Ghiffari, tetapi ia hendak mengingatkan akan bahaya menjadi pemimpin tanpa mampu menjalankan amanah yang diembannya. Karena, pemimpin tidak hanya bertanggung jawab kepada rakyatnya, tapi dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Jika seorang pemimpin mampu menunaikan amanah dengan baik, memberikan hak-hak bagi orang yang dipimpinnya, dan berbuat adil kepada diri, keluarga, dan rakyatnya, ia termasuk orang yang paling dicintai Allah dan mendapatkan naungan dari sisi-Nya pada Hari Kiamat. “Sehari menjadi pemimpin yang adil, lebih baik daripada beribadah selama 60 tahun.” (HR Ahmad).
“Sehari menjadi pemimpin yang adil, lebih baik daripada beribadah selama 60 tahun.”
~HR Ahmad.
~HR Ahmad.
Sebaliknya, jika seorang pemimpin tidak adil, mengabaikan tanggung jawabnya terhadap rakyat, dan hanya berpihak kepada diri, keluarga, dan kelompoknya, ia akan menyesalinya pada Hari Kiamat. “Barang siapa yang menjadi pemimpin (hanya) bagi 10 orang atau lebih, Allah akan mendatangkannya dengan tangan terbelenggu pada lehernya pada Hari Kiamat, ia akan dibebaskan oleh kebaikannya atau dikencangkan dosanya, awalannya ialah kesalahan, pertengahannya penyesalan, dan akhirannya kehinaan pada Hari Kiamat.” (HR Ahmad).
Dosa seorang pemimpin tidak bisa disamakan dengan dosa manusia biasa karena dosa pemimpin berdampak luas dan merugikan orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang menyalahgunakan wewenang, membiarkan kezaliman, dan menelantarkan orang-orang yang tidak mampu, akan dibalas oleh Allah dengan kehinaan dan siksaan yang pedih. Oleh karena itu, para pemimpin umat Islam terdahulu selalu memikirkan tentang penderitaan rakyatnya karena merasa takut akan perbuatan dosa yang nanti akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah.
Karenanya, sungguh sangat mengherankan jika seorang pemimpin hanya mengkhawatirkan keselamatan diri dan keluarganya dari rongrongan rakyat atau lawan-lawan politiknya, sementara ia menelantarkan rakyatnya dalam jeratan kemiskinan. Umar bin Khattab RA pernah merinding ketakutan akan posisinya pada Hari Kiamat hanya karena mengkhawatirkan seekor keledai yang tak bisa makan. “Andaikan seekor keledai terjerembab di daerah Irak, niscaya Allah kelak akan menanyakan pertanggungjawabanku, mengapa engkau tidak meratakan jalannya?”
Seandainya setiap pemimpin lebih mengkhawatirkan kedudukannya di sisi Allah dibanding jabatan dan kekuasaannya saat ini, ia akan senantiasa mendengarkan dan memperhatikan kebutuhan rakyatnya. Sekecil apa pun kesalahan pemimpin terhadap rakyatnya, akan menjadi penyesalan, kehinaan, dan azab baginya pada Hari Kiamat. Wallahu ‘alam.
.
.