Limbah sludge oil atau minyak hitam yang merupakan sisa bahan bakar pabrik dan kapal kembali mencemari wilayah perairan Kepri, khususnya Bintan dan Batam sejak satu bulan terakhir hingga saat ini. Limbah tersebut berasal dari kapal asing terutama dari Singapura yang membuang limbahnya ke perairan internasional antara Batam dan Singapura.
Pembuangan limbah oleh kapal Singapura kerap dilakukan ketika masuk musim angin utara yang membawa arah gelombang laut ke wilayah perairan Kepri sehingga seluruh limbah yang dibuang ke perairan internasioal tersebut terbawa dan mengendap ke sejumlah pantai yang ada di Provinsi Kepri.
Nelayan Tanjung Berakit Kabupaten Bintan Provinsi Kepri, Samad mengatakan, limbah sludge oil saat ini mencemari sekitar 6 kilo meter kawasan pantai Tanjung Berakit. Akibatnya, nelayan tidak bisa melaut disebabkan sebagian besar jaring nelayan rusak dan tidak bisa digunakan. Selain itu, ikan juga sulit didapat karena banyak yang mati karena limbah.
"Hampir enam kilometer pantai di desa kami tercemar, bahkan di daerah mangrove dan konservasi Padang Lamun pun ikut tercemar," kata Samad, Selasa (15/2).
Ketua RT02/RW01 Tanjung Berakit, Sudirman, sekitar 300 nelayan Desa Tanjungberakit tidak bisa melaut akibat limbah tersebut. Oleh karena itu, dia berharap persoalan limbah itu bisa segera diatasi karena setiap tahun selalu muncul kasus tersebut.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Bintan, Baini, mengatakan, pencemaran ter di Pantai Berakit memang cukup parah. Karenanya, ia berharap, ada kebijakan pemerintah dalam menyikapi kapal yang berlabuh di jalur internasional.
"Kapal yang berlabuh di jalur internasional banyak yang melakukan pencucian. Minyak bekas cucian itu ketika ditiup angin Utara akan menuju pantai Bintan. Imbasnya, nelayan yang mendapat resiko atau kerugian. Kita akan laporkan masalah pencemaran limbah minyak hitam ini kepada Pemkab Bintan melalui dinas terkait," katanya.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Bintan, Ir Karya Hermawan mengatakan, bahwa masalah ini bisa diangkat menjadi pembicaraan G to G (government to goverment) dengan negara tetangga.
"Setiap musim angin utara pasti perairan di Bintan ini tercemar limbah berupa gumpalan sludge oil ini, namun yang anehnya saat angin selatan tidak pernah terdengar pantai di Johor ataupun di Singapura yang dapat kiriman limbah, ini seharusnya diangkat menjadi persoalan G to G, karena limbah ini asalnya dari perairan internasional," katanya.
Dikatakan, pencemaran tidak hanya terjadi di Bintan, daerah lain di provinsi Kepri juga ikut tercemar setiap musim angin utara, yakni September hingga Maret. Sampah-sampah kapal dan minyak hitam bertebaran di pulau-pulau di Kepri. Pemerintah pusat dinilai tidak bisa mengawasi pencemaran laut yang merugikan masyarakat nelayan di Kepri.
Sementara itu, perairan Batam sejak satu pekan terakhir hingga saat ini juga tercemar oleh limbah minyak hitam sisa bahan bakar sejumlah kapal yang lewat di perairan internasional antara Batam dan Singapura serta dari kapal yang bersandar di wilayah Batam. Kapal kapal tersebut membuang limbahnya ke laut tanpa pengawasan dari instansi pemerintah yang terkait sehingga jika musim angin utara seperti yang terjadi saat ini, maka limbah minyak tersebut dibawa gelombang hingga pantai yang di Batam.
Akibatnya, sejumlah pantai di Batam saat ini tercemar oleh limbah minyak hitam yang dikenal dengan Sludge Oil. Pantai yang paling parah terkena limpahan limbah sludge oil tersebut diantaranya, pantai Bukit Harimau, Tanjung Pinggir, Belakang Padang, Nongsa serta sejumlah pulau kecil yang ada di Batam juga terkena limpahan limbah tersebut.
Kepala Bapedalda Batam, Dendi Purnomo mengatakan, limbah sludge oil yang menggenangi sejumlah wilayah perairan di Batam kerap terjadi dan limbah tersebut termasuk dalam golongan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
“Berdasarkan sample fisik yang kami lakukan terhadap limbah tersebut yang berasal dari berbagai daerah yang tercemar menyebutkan bahwa limbah itu termasuk golongan B3,” katanya.
Oleh karenanya, Pemko Batam telah melakukan pengecekan ke sejumlah wilayah laut di Batam yang diduga menjadi tempat buangan limbah kapal tersebut, namun hingga saat ini belum ditemukan kapal yang membuang limbah sludge oil.
Dendi menduga, limbah tersebut dibuang di perairan internasional dan terbawa gelombang hingga ke pantai di Batam.
Ketua Komisi III DPRD Batam, Jahuin Hutajulu mengatakan, pemerintah kota Batam mestinya bisa mendeteksi kapal tanker yang selalu membuang limbah minyak nya ke perairan Batam, karena peristiwa itu kerap terjadi.
“Kami mendesak Pemko Batam menyediakan alat untuk mendeteksi pembuangan limbah di laut sehingga jika ada kapal yang ingin membuang limbah bisa diketahui koordinatnya agar bisa ditangkap pelakunya,” kata dia.
Menurutnya, pencemaran laut di Batam sudah sangat menguatirkan karena limbah sludge oil setiap tahun selalu mencemari laut Batam dan volumenya diperkirakan lebih dari 65 ton. Biaya untuk membersihkan limbah tersebut juga cukup besar yakni ratusan juta rupiah setiap tahunnya. Oleh karena itu, Pemko Batam harus tanggap dan cepat mencari solusi agar ekosistem perairan Batam tetap terjaga. (gus).