Pemerintah Kota Batam mengusulkan kembali rencana kenaikan sejumlah pajak dan retribusi daerah yang tahun 2010 lalu ditolak oleh berbagai kalangan masyarakat dan pengusaha Batam. Usulan itu disampaikan Wali Kota Batam Ahmad Dahlan ke DPRD Batam dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pajak-pajak Daerah Kota Batam awal Februari 2011.
Hampir semua pajak dalam Ranperda setebal 41 halaman itu akan naik sampai dua kali lipat, kecuali pajak restoran dan hotel yang tetap 10 persen. Tarif Pajak Penerangan Jalan (PPJ) misalnya dari 4,0 persen naik menjadi 7,0 persen. Pajak reklame dari 15 persen menjadi 25 persen. Pajak-pajak hiburan juga naik signifikan, misalnya pajak tontonan film dari 10 persen akan dinaikkan menjadi 15 persen. Pagelaran kesenian, musik, dan tari juga naik menjadi 15 persen. Pajak permainan golf, biliar dan boling tarifnya naik menjadi 15 persen.
Kemudian pajak Diskotik, karaoke, klub malam, bar dan sejenisnya dari 15 persen menjadi 45 persen. Pajak panti pijat, refleksi, mandi uap atau spa naik menjadi 35 persen.
Walikota Batam, Ahmad Dahlan mengatakan, usulan Ranperda Pajak-pajak Daerah perlu disampaikan untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
“Pemko Batam juga memerlukan tambahan dana untuk menunjang pembangunan, sehingga diharapkan pelayanan pada masyarakat makin meningkat,’’ katanya.
Selain Ranperda tentang Pajak-pajak Daerah ternyata Pemerintah Kota Batam juga menyampaikan empat Ranperda lain ke DPRD yang tarifnya perlu disesuaikan yakni Ranperda tentang Kebersihan, Parkir, dan Kepelabuhanan.
Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri, Abidin Hasibuan mengatakan, rencana peningkatan pajak dan retribusi daerah hanya akan berdampak negatif terhadap perekonomian Batam. Multiflier effect atau dampak lanjutan dari peningkatan pajak dan retribusi daerah akan menjalar pada banyak sektor ekonomi.
Misalnya, jika pajak penerangan jalan (PPJ) naik dari 4 persen menjadi 7 persen, maka akan memukul sektor usaha perdagangan seperti hotel, restoran, pusat perbelanjaan, toko, dan sektor perdagangan lainnya sebab beban pembayaran listrik yang harus dibayarkan semakin besar.
Padahal, kata Abidin, Pemko Batam sudah menaikan PPJ dari 3 persen pada tahun 2009 menjadi 4 persen pada tahun 2010, dan pada saat itu pengusaha tidak dapat menolak peningkatannya karena memang ada proyek pemasangan 5.000 titik lampu jalan. Namun, jika pada tahun 2011 ini akan dinaikan lagi menjadi 7,0 persen maka pengusaha akan menolaknya.
Pasalnya, dengan tariff PPJ sebesar 4,0 persen, kata Abidin pendapatan Pemko Batam diperkiran 50 miliar rupiah per tahun, dan dari jumlah itu hanya 30-40 persen saja yang digunakan untuk membayar tagihan listrik, sisanya yang 60 persen masuk ke kas Pemko, sehingga tidak ada alasan bagi Pemko untuk menaikan PPJ lagi.
“Rencana pemerintah kota Batam yang akan menaikan sejumlah pajak dan retribusi daerah hanya akan menyurutkan minat investor asing untuk menanamkan investasinya di Batam dan rencana itu juga tidak sejalan dengan keinginan pemerintah pusat yang ingin memangkas birokrasi yang tidak efisien dan mahal, sehingga pembahasannya harus dihentikan,” kata Abidin, Jumat (18/2).
Selain itu, rencana peningkatan pajak hiburan hingga 45 persen juga tidak logis dan hanya akan menambah beban pengusaha sehingga mengancam sektor pariwisata Batam sehingga sektor pariwisata yang dulunya memberi kontribusi cukup besar yakni sekitar 40 persen pada 2006 akan menurun. Pada tahun 2010 saja kontribusi sektor pariwisata hanya sekitar 30 persen lebih rendah dibanding 2006, maka jika pajak hiburan dinaikan kontribusinya akan lebih rendah lagi.
Menurut Abidin yang juga CEO PT Sat Nusa Persada Tbk, Pemko Batam mestinya dapat menciptakan iklim berusaha yang kondusif di Batam, bukan memeras pengusaha dan masyarakat dengan meningkatkan pajak dan retribusi daerah.
Masih banyak cara lain untuk meningkatkan pendapatan daerah, terlebih Pemerintah pusat juga sudah melimpahkan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ke daerah.
Pendapatan dari BPHTB saja diperkirakan 120 miliar sampai 130 miliar rupiah per tahun, kemudian dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang juga sudah dilimpahkan ke daerah tahun ini sekitar 700 miliar sampai 900 miliar rupiah per tahun. Jika ditotal, maka penghasilan baru Pemko Batam ini diperkirakan lebih dari 1 triliun rupiah yang berarti mendekati APBD Batam yang 1,4 triliun rupiah.
Dengan potensi pendapatan sebesar itu ditambah dengan dana perimbangan, kata Abidin Pemko Batam tidak perlu lagi menaikan tarif pajak dan retribusi daerah yang hanya memicu angka inflasi.
Pemko Batam mestinya dengan anggaran yang lebih dari 1,4 triliun rupiah tersebut bisa meningkatkan kualitas infrastruktur dengan mengalokasikan sebagian besar dananya untuk investasi bukan untuk belanja pegawai yang saat ini mengambil porsi sekitar 60 persen dari APBD.
“Sangat disayangkan jika 60 persen APBD dihabiskan untuk belanja pegawai. Ada yang salah di sini. Mungkin kabinetnya terlalu gemuk sehingga biayanya besar, padahal kinerja aparat pemerintah masih biasa-biasa saja bahkan birokrasinya masih seperti hantu,” kata Abidin.
Menurutnya, jika Pemko Batam tetap ngotot akan menaikan pajak dan retribusi daerah maka pengusaha akan mengambil langkah hukum untuk menghentikan rencana tersebut. Pasalnya, jika diteruskan maka banyak perusahaan yang akan tutup, saat ini saja sudah ada lebih dari empat perusahaan yang menutup usahanya di Batam serta memberhentikan ribuan pekerjanya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Batam Rudi Sakyakirti membenarkan hal itu, menurutnya sebanyak 3.615 pekerja yang berasal dari empat perusahaan di Batam akan terkena pemutusah hubungan kerja (PHK) pada tahun 2011 ini.
Empat perusahaan yang akan memberhentikan ribuan tenaga kerjanya adalah PT Panasonic yang akan memberhentikan 1.200 pekerja, PT Drydocks World Pratama akan memberhentikan 575 pekerja, PT Drydocks Nan Indah akan memberhentikan 1.050 pekerja dan PT Graha Trisaka Industri akan memberhentikan 790 pekerja.
Manajemen PT Panasonic Batam, Ricky mengatakan, perseroan akan memberhentikan 1.200 karyawannya secara bertahap yang dimulai April 2011 hingga Oktober 2011. Pemberhentian pekerja disebabkan perseroan mengalami penurunan order.
Salah satu sebab terjadinya penurunan order karena perusahaan yang selama ini memberi pekerjaan mengalihkan ordernya ke perusahaan lain di negara tetangga seperti Vietnam, China dan Malaysia.
Itu disebabkan daya saing biaya produksi barang di Batam lebih tinggi dibanding negara lain disebabkan masih rumitnya proses birokrasi, perijinan sehingga tidak ada kepastian soal biaya dan waktu untuk menghasilkan produksi.
“Kami berharap pemerintah daerah bisa mencari jalan keluar atas persoalan yang dihadapi pengusaha dalam hal birokrasi dan pelayanan yang selama ini menyebabkan biaya produksi tinggi,” katanya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam yang juga Pengelola Kawsan Industri Kabil, Oka Simatupang mengatakan, lemahnya daya saing industri di Batam bukan disebabkan oleh kemampuan tenaga kerja, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor birokrasi.
“Selama ini, masih ada pajak PPN Ganda, belum adanya kepastian hukum dan pelayanan investasi masih membutuhkan biaya dan waktu lama, akibatnya biaya produksi industri di Batam lebih tinggi dibanding kawasan industri di negara lain sehingga industri di Batam tidak mampu bersaing dengan industri di negara lain,” kata Oka.
Lemahnya daya saing industri di Batam menyebabkan sejumlah perusahaan merelokasi pabriknya ke negara lain. Kemudian, banyak perusahaan yang memberi order juga mengalihkan pasokan komponen elektroniknya ke pabrik di negara lain yang memberi jaminan kepastian waktu dan biaya dalam pengiriman.
Kondisi tersebut, kata Oka menyebabkan perusahaan di Batam banyak kehilangan order sehingga harus memberhentikan pekerjanya.
Untuk mengatasi hal itu, Oka menyarankan pemerintah daerah segera mengambil langkah langkah strategis guna menghindari PHK Masal, bukan justru meningkatkan pajak dan retribusi daerah. (gus).