1.1 Latar Belakang Masalah
Kinerja di dalam perusahaan sangat ditentukan oleh kondisi dan perilaku karyawan yang dimiliki perusahaan tersebut. Fenomena yang seringkali terjadi adalah kinerja suatu perusahaan terganggu karena berbagai perilaku karyawan yang sulit dicegah terjadinya. Kinerja perusahaan yang telah bagus dapat dirusak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu bentuk perilaku karyawan yang dapat mengganggu kinerja perusahaan adalah keinginan berpindah (turnover intentions) dimana karyawan memiliki keputusan untuk meninggalkan pekerjaannya.
Tingginya tingkat turnover di dalam perusahaan akan mengakibatkan semakin banyak potensi biaya yang akan di keluarkan oleh perusahaan. Baik untuk biaya pelatihan yang sudah diinvestasikan pada karyawan, tingkat kinerja yang sudah dikorbankan, maupun biaya rekruitmen dan pelatihan kembali (Suwandi dan Indriantoro, 1999).
Profesi akuntan publik merupakan suatu pekerjaan yang berlandaskan pada pengetahuan yang kompleks dan hanya dapat dilakukan oleh individu dengan kemampuan dan latar belakang pendidikan tertentu. Salah satu tugas akuntan publik dalam menjalankan profesinya adalah menyediakan informasi yang berguna bagi publik untuk pengambilan keputusan ekonomi. Profesi akuntan publik merupakan profesi yang unik. Setiawan dan Ghozali (2006) menyatakan bahwa pada umumnya profesional (contoh: pengacara dan dokter) sebagai pihak
pertama, bekerja untuk kepentingan klien yang merupakan pihak kedua (pemohon jasa). Profesi akuntan publik bukan saja dituntut untuk melayani klien (pihak kedua), tetapi lebih mengutamakan tanggung jawab kepada masyarakat (pihak ketiga). Oleh sebab itu, akuntan publik diharapkan mampu menjalankan tanggung jawab yang ada dalam profesinya.
Profesi akuntan publik harus bersifat independen dan berkomitmen secara eksplisit melayani kepentingan publik. Permintaan terhadap jasa audit, pajak, dan manajemen oleh berbagai organisasi baik lokal maupun multinasional, merupakan tanggung jawab utama para akuntan profesional (Setiawan dan Ghozali 2006). Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang jasa, aset utama yang harus dimiliki oleh sebuah kantor akuntan publik (KAP) adalah tenaga kerja profesional. Agar dapat bertanggung jawab pada publik, para auditor harus berupaya untuk meningkatkan job performance dalam menjalankan profesinya. Tercapainya performance yang baik tidak terlepas dari kualitas sumber daya manusia (SDM) yang baik pula. Seperti yang diungkapkan oleh Hellriegel (2001) bahwa performance yang baik dapat dicapai saat 1) tujuan yang diinginkan telah tercapai, 2) moderator (kemampuan, komitmen, motivasi) telah tersedia dan, 3) mediator (petunjuk, usaha, ketekunan, dan strategi ) telah dijalankan.
Terkait dengan peningkatan job performance profesional, karakter pribadi profesional dan kondisi tempat profesional bekerja menjadi konsekuensi penting bagi KAP, bagi profesional itu sendiri, dan bagi pihak-pihak yang menggunakan jasa profesional (publik). Beberapa karakter pribadi dan kondisi kerja profesional dapat menghasilkan tingkat job performance yang berbeda, keadaan psikologis
yang berbeda, dan juga dapat mempengaruhi keputusan profesional untuk tetap atau meninggalkan KAP (turnover). Dalam penelitian Barrick dan Mount (1993) dijelaskan bahwa beberapa meta-analisis telah membuktikan bahwa karakter pribadi dapat memprediksi dengan baik tingkat performance individu. Ditemukan pula hubungan antara karakter pribadi dan tindakan dipengaruhi oleh situasi dimana individu itu bekerja. Fisher (2001) berpendapat bahwa KAP dapat meningkatkan job performance dan job satisfaction auditor dengan mengurangi tekanan di lingkungan kerja profesional. Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa tidak hanya karakter pribadi yang mempengaruhi tindakan seseorang, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan eksternal yang menentukan kebebasan seseorang.
Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan adanya korelasi positif yang kuat antara pengalaman dengan job performance (Quinones et al., 1995). Mereka juga menyatakan bahwa seseorang dapat menilai job performance sesuai dengan tingkat pengalaman yang dimiliki. Pernyataan itu juga dipertegas Mumford & Stokes (1992), (dalam Quinones et al., 1995 ) yang menyatakan bahwa pengalaman merupakan faktor yang paling menentukan tingkat job performance, sementara itu Fiedler (1970), (dalam Quinones et al., 1995 ) menyatakan pengalaman bukan merupakan hal penting bagi job performance.
Otonomi telah dikaitkan dengan motivasi dan job performance yang baik dari seorang pegawai (Xie dan Johns, 1995). Xie dan Johns (1995) telah membuktikan jika otonomi sudah dimiliki maka kebutuhan akan tugas dan job performance akan semakin tinggi juga. Menurut Au dan Cheung (2004), (dikutip
oleh Pearson, et al., 2009) otonomi juga dapat mengurangi tekanan saat bekerja dan meningkatkan inisiatif dan kepercayaan diri saat bekerja. Hal itu dipertegas oleh penelitian oleh Tai dan Liu (2007) yang menyatakan bahwa otonomi memiliki pengaruh positif bagi pegawai yang memiliki emosional yang tinggi disaat mengalami tekanan dan ketegangan. Perusahaan sebaiknya memberikan keleluasan bekerja bagi pegawai yang memilki emosional tinggi agar dapat bekerja lebih baik. Dengan adanya otonomi mereka akan lebih bijaksana dalam bekerja tanpa ketegangan dan tekanan. Morgeson et al., (2005) membuktikan adanya hubungan yang kompleks antara otonomi dan job performance. Otonomi mencerminkan tingkat kebijaksanaan, kebebasan, dan independensi seseorang merencanakan pekerjaan dan membuat keputusan dalam pelaksanaan tugas. Sementara itu, Wrzesniewski & Dutton (2001) (dalam Tai dan Liu, 2007) menyatakan bahwa individu yang memiliki pekerjaan yang sama akan memiliki tingkat performance yang berbeda dalam menyelesaikan tugas yang diberikan, sehingga membuat peranan mereka berbeda juga. Teori ini sebagai landasan percobaan untuk memahami peran seseorang dalam pekerjaan melalui keahlian dan cara mereka melaksanakan tugas.
Dalam suatu organisasi yang kompleks, sebaiknya memiliki keterangan yang jelas mengenai tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepada penerima mandat. Hal ini berkaitan dengan role requirements yang menurut Rizzo et al., (1970), (dalam penelitian Michael et al., 2009) pengertian role requirements adalah wewenang seseorang untuk bertanggung jawab dalam melaksanakan peran mereka. Jika pegawai tidak menyadari keberadaan tanggung jawab dan apa yang
diharapkan maka mereka akan sulit mengambil keputusan dan bekerja tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan adanya hubungan negatif yang signifikan antara ambiguitas peran dan job performance (Fisher, 2001). Ambiguitas peran dan role conflict memiliki hubungan negatif dengan job performance (Kalbers dan Cenker, 2008). Keduanya dapat menimbulkan ketagangan dalam bekerja, job dissatisfaction, kecenderungan meninggalkan perusahaan, dan job performance yang buruk (Jackson dan Schuler,
1985). Dari sudut pandang motivasi, expectancy theory Vroom, job performance seharusnya memiliki korelasi negatif terhadap ambiguitas peran dan role conflict sebab keduanya memiliki hubungan negatif terhadap usaha dan harapan dalam pekerjaan (Jackson dan Schuler, 1985).
Penelitian ini dikembangkan berdasarkan penelitian Kalbers dan Cenker (2008) dengan menguji kembali keterkaitan antara job experience, job autonomy dan role ambiguity terhadap job performance auditor di KAP Indonesia. Konsisten dengan penjelasan diawal, bahwa karakter pribadi menjadi konsekuensi penting dalam peningkatan job performance professional di KAP, maka dalam penelitian ini digunakan variabel kepribadian yang meliputi aspek biografis untuk mengukur tingkat job performance profesional di KAP. Variabel tersebut adalah exercised responsibility.
Meningkatnya kebutuhan akan kualitas dan kinerja auditor pada tingkat individu maupun perusahaan (lokal dan multinasional), menyebabkan profesi auditor di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Agar dapat memenuhi kebutuhan dan tanggung jawab tersebut, profesional dituntut untuk dapat
meningkatkan job performance pada profesinya. Profesional yang bekerja dengan job performance yang baik dapat meningkatkan kepuasan klien, kredibilitas dan eksistensi. Hal tersebut yang mendorong penulis meneliti kembali sejauh mana konsep Kalbers dan Cenker (2008) dapat diterapkan pada profesional di Indonesia.