PERNYATAAN SIKAP TENTANG PENANGKAPAN 17 AKTIVIS DAN PETANI MELAWAN PERKEBUNAN SAWIT PT KLS DI SULAWESI TENGAH
Konflik agraria dan kekerasan dalam pengelolaan perkebunan skala besar kembali terjadi. Kali ini pemicunya adalah PT Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS), yang memiliki perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Perusahaan milik konglomerat lokal Murad Husen ini telah lama menjalankan bisnis perkebunan dengan cara-cara melawan hukum dan merusak lingkungan. PT KLS tak segan-segan merampas tanah petani, mengggusur lahan transmigran, menjankan intimidasi dengan menggunakan preman, hingga memobilisasi aparat polisi dan TNI, untuk melindungi bisnisnya. Peristiwa ini sudah terjadi sejak tahun 1995, tanpa adanya suatu usaha penyelesaian konflik dari negara.
PT KLS sejak tahun 1995 menguasai 13.00 hektar izin HTI, yang masuk dalam wilayah 17 desa di kecamatan Toili dan Toili Barat. Data kependudukan di 2 kecamatan tersebut, berdasarkan data Pemilu 2009 sejumlah 32.000 orang daftar pemilih tetap. Dari 17 desa tersebut terdapat 2 wilayah desa transmigrasi yang ikut dirampas, yaitu desa Piondo (275 ha) dan desa Bukit Jaya (1.000 ha). Merupakan desa transmigrasi asal Jawa-Bali, yang masuk dalam tiga gelombang sejak tahun 1982-1986, dengan sertifikat kepemilikan dari negara yang sesuai ketentuan Undang-undang tak boleh dialihfungsikan.
Praktek merampas tanah transmigran dan petani lokal ini, telah menyebabkan hilangnya kawasan hutan dan sungai warga sebagai sumber-sumber kehidupan warga. Sungai warga kering, padahal petani sangat membutuhkan untuk pengairan, dan kebutuhan hidup sehari-hari.
Praktek penghancuran lingkungan ini telah dilaporkan petani ke Mapolres Banggai dengan Laporan Polisi No: STPL/183/III/ 2010/Sulteng/ Res Banggai, tertanggal 17 Maret 2010. Hingga saat ini, polisi tak melakukan tindakan hukum atas laporan tersebut.
Sejak tahun 2001, PT KLS juga mengklaim memiliki Hak Guna Usaha (HGU) seluas 6.010 hektar, yang ditanami Kakao (4.000 ha) dan Kelapa Sawit (2.010 ha). Investigasi lapangan oleh FRAS Sulawesi Tengah menemukan fakta bahwa PT KLS tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan atas lahan yang diklaim. Juga kawasan yang diklaim ada di atas tanah hak milik warga dengan sertifikat sah. Tindakan melawan hukum ini telah dilaporkan ke Polres Banggai oleh petani bersama LBH Sulawesi Tengah dengan Laporan Polisi Nomor: LP/655/XI/2009/ SPK tertanggal 12 November 2009. Atas laporan polisi perkembangan terbaru, sejak bulan April 2010, polisi telah menetakan Murad Husen sebagai Tersangka, namun tidak ditahan. FRAS Sulteng telah mengadukan resmi diskriminasi dan tidak profesionalnya aparat polisi dalam pengusutan kasus ini, khususnya atas 2 Laporan Polisi yang sudah dilakukan.
Penangkapan dan penahaan kepada aktivs Eva Susanti (34) Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah, bersama 2 pimpinan petani yaitu Nasrun Mbau (40) Ketua Persatuan Petani Singkoyo (PEPSI) dan anggotanya M. Arif (50), oleh Polres Banggai pada tanggal 27 Mei 2010, menunjukan diksriminasi hukum dan masih kuatnya budaya Polri menjadi alat untuk melindungi pengusaha/investasi yang merusak lingkungan. Eva Susanti dan para petani ditangkap dengan tuduhan terlibat aksi pengrusakan camp dan kantor PT KLS pada aksi tanggal 26 Mei 2010. Selain 3 aktivis tersebut, polisi juga menangkap 14 orang petani lainnya. Sejak tanggal 28 Mei 2010, Eva dan 2 petani dipindahkan penahanannya di Rumah Tahanan (Rutan) Banggai.
PT KLS juga menggunakan aparat TNI dari KODIM 1308/Banggai untuk mengamankan areal HTI-nya. Pada tanggal 21 Mei 2010, aksi sejumlah mahasiswa dan aktivis pro-demokrasi Banggai yang tergabung dalam Front Oposisi Rakyat Indonesia (FORI) Banggai, untuk mengecam keterlibatan TNI sebagai penjaga perusahaan dan menakut-nakuti warga, berbuntut pemanggilan kepada sejumlah aktivis oleh Komandan KODIM 1308 Banggai. Tentara juga mengancam para aktivis untuk tidak lagi menggelar protes mendukung perjuangan FRAS Sulteng dan petani.
Atas peristiwa kriminalisasi dan respresifitas aparat Polri dan TNI dalam kasus Banggai ini, maka kami menyatakan sikap:
PT KLS sejak tahun 1995 menguasai 13.00 hektar izin HTI, yang masuk dalam wilayah 17 desa di kecamatan Toili dan Toili Barat. Data kependudukan di 2 kecamatan tersebut, berdasarkan data Pemilu 2009 sejumlah 32.000 orang daftar pemilih tetap. Dari 17 desa tersebut terdapat 2 wilayah desa transmigrasi yang ikut dirampas, yaitu desa Piondo (275 ha) dan desa Bukit Jaya (1.000 ha). Merupakan desa transmigrasi asal Jawa-Bali, yang masuk dalam tiga gelombang sejak tahun 1982-1986, dengan sertifikat kepemilikan dari negara yang sesuai ketentuan Undang-undang tak boleh dialihfungsikan.
Praktek merampas tanah transmigran dan petani lokal ini, telah menyebabkan hilangnya kawasan hutan dan sungai warga sebagai sumber-sumber kehidupan warga. Sungai warga kering, padahal petani sangat membutuhkan untuk pengairan, dan kebutuhan hidup sehari-hari.
Praktek penghancuran lingkungan ini telah dilaporkan petani ke Mapolres Banggai dengan Laporan Polisi No: STPL/183/III/ 2010/Sulteng/ Res Banggai, tertanggal 17 Maret 2010. Hingga saat ini, polisi tak melakukan tindakan hukum atas laporan tersebut.
Sejak tahun 2001, PT KLS juga mengklaim memiliki Hak Guna Usaha (HGU) seluas 6.010 hektar, yang ditanami Kakao (4.000 ha) dan Kelapa Sawit (2.010 ha). Investigasi lapangan oleh FRAS Sulawesi Tengah menemukan fakta bahwa PT KLS tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan atas lahan yang diklaim. Juga kawasan yang diklaim ada di atas tanah hak milik warga dengan sertifikat sah. Tindakan melawan hukum ini telah dilaporkan ke Polres Banggai oleh petani bersama LBH Sulawesi Tengah dengan Laporan Polisi Nomor: LP/655/XI/2009/ SPK tertanggal 12 November 2009. Atas laporan polisi perkembangan terbaru, sejak bulan April 2010, polisi telah menetakan Murad Husen sebagai Tersangka, namun tidak ditahan. FRAS Sulteng telah mengadukan resmi diskriminasi dan tidak profesionalnya aparat polisi dalam pengusutan kasus ini, khususnya atas 2 Laporan Polisi yang sudah dilakukan.
Penangkapan dan penahaan kepada aktivs Eva Susanti (34) Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah, bersama 2 pimpinan petani yaitu Nasrun Mbau (40) Ketua Persatuan Petani Singkoyo (PEPSI) dan anggotanya M. Arif (50), oleh Polres Banggai pada tanggal 27 Mei 2010, menunjukan diksriminasi hukum dan masih kuatnya budaya Polri menjadi alat untuk melindungi pengusaha/investasi yang merusak lingkungan. Eva Susanti dan para petani ditangkap dengan tuduhan terlibat aksi pengrusakan camp dan kantor PT KLS pada aksi tanggal 26 Mei 2010. Selain 3 aktivis tersebut, polisi juga menangkap 14 orang petani lainnya. Sejak tanggal 28 Mei 2010, Eva dan 2 petani dipindahkan penahanannya di Rumah Tahanan (Rutan) Banggai.
PT KLS juga menggunakan aparat TNI dari KODIM 1308/Banggai untuk mengamankan areal HTI-nya. Pada tanggal 21 Mei 2010, aksi sejumlah mahasiswa dan aktivis pro-demokrasi Banggai yang tergabung dalam Front Oposisi Rakyat Indonesia (FORI) Banggai, untuk mengecam keterlibatan TNI sebagai penjaga perusahaan dan menakut-nakuti warga, berbuntut pemanggilan kepada sejumlah aktivis oleh Komandan KODIM 1308 Banggai. Tentara juga mengancam para aktivis untuk tidak lagi menggelar protes mendukung perjuangan FRAS Sulteng dan petani.
Atas peristiwa kriminalisasi dan respresifitas aparat Polri dan TNI dalam kasus Banggai ini, maka kami menyatakan sikap:
- Mendukung penuh perjuangan petani di Banggai untuk melindungi dan mempertahankan lingkungan hidup, hak atas tanah, serta sumber-sumber kehidupannya. Hak rakyat atas tanah dan sumberdaya alam dilindungi UUD 1945, khususnya Pasal 33.
- Bebaskan seluruh aktivis dan petani yang ditahan dan hentikan praktek-praktek kriminalisasi, diskriminasi hukum, dan penjajahan gaya baru, dengan mengatasnamakan kepentingan investasi perkebunan sawit skala besar dan perluasan HTI. Kasus Banggai ini memaparkan jelas perkebunan sawit skala besar dan HTI menyimpan potensi besar konflik dan pelanggaran HAM ,Rencana pemerintah memperluas areal perkebunan kelapa sawit dan HTI, mesti berkaca dari kasus ini, serta sejumlah konflik sejenis.
- Mengecam keras keterlibatan aktif TNI dan polisi yang memihak perusahaan dan mengancam hak atas rasa aman dan damai warga. Pimpinan TNI dan POLRI segera menyelidiki keterlibatan aparatnya dalam kasus ini secara menyeluruh serta memberikan hukuman yang berkeadilan
- Mendesak Kapolda Sulawesi Tengah segera memproses Laporan Polisi terkait tindak pidana kejahatan lingkungan dan perampasan hak-hak petani di Banggai oleh PT KLS.
- Mendesak Bupati Banggai dan DPRD Banggai segera bertindak memulihkan rasa aman bagi warga dan mengambil-alih penyelesaian konflik ini dengan pendekatan sipil, serta memenuhi prinsip-prinsip pemenuhan keadilan bagi para korban/petani. Pasifnya Bupati, DPRD dan aparat pemerintahan dalam kasus ini menimbulkan tanda tanya besar.
- Mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk segera melakukan Pemantauan Lapangan atas kasus ini.
- Mendesak Mabes POLRI dan Komisi Kepolisian Nasional segera mengusut aparat kepolisian yang bertindak sewenang-wenang, tidak professional dan memihak perusahaan dalam kasus ini.