Kecamatan Talaga Raya memiliki luas wilayah 71,31 Km2 dengan jumlah penduduk mencapai 10.091 jiwa yang tersebar di 5 (lima) Desa. Berdasarkan RTRW Kabupaten Buton tahun 2007 – 2027, arah pengembangan Kecamatan Talaga Raya terkait pengelolaan sumber daya alam, akan dijadikan sebagai pusat kegiatan pertambangan dan industry dan pusat kegiatan penangkapan ikan dan budidaya perairan. Hal mana sangat kontradiktif, sebab sungguh hal yang mustahil jika industry pertambangan hendak diparalelkan dengan kegiatan pengembangan budidaya dan penangkapan ikan.
Berdasarkan surat Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Buton Nomor : 522/326 tanggal 13 Agustus 2007 perihal hasil identifikasi lokasi di Desa Wulu menerangkan bahwa Lokasi yang dimohonkan oleh PT. Arga Morini Indah untuk dijadikan kawasan pertambangan nikel merupakan kawasan hutan produksi terbatas dan sebagian lainnya merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) dengan rincian, HPT seluas 1.035 Ha dan APL seluas 955 Ha. Pada areal APL terdapat lahan masyarakat yang telah mempunyai hak milik, dan direkomendasikan agar ganti rugi lahan dan tanaman diselesaikan secara tuntas sebelum PT. Arga Morini Indah memulai kegiatan eksplorasinya. (Sumber : Hasil Riset WALHI-JPKP Buton 25 Mei s.d 30 Juni 2008).
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Buton, PT Arga Morini Indah diberikan izin eksplorasi seluas 2.000 Ha di Desa Wulu yang sebelumnya di Desa Kokoe di Kecamatan yang sama (Talaga Raya) juga telah memperoleh KP Eksplorasi seluas 1.243 Ha berdasarkan Keputusan Bupati Buton yang berlaku selama tiga tahun, sejak 2006 sampai 2009.
Sejak PT. Arga Morini Indah (AMI) melakukan eksplorasi dan eksploitasi tahun 2007 sampai sekarang, sudah membawa keresahan terhadap masyarakat Kecamatan Talaga Raya. Lokasi kuasa pertambangan eksploitasi yang dimiliki oleh PT. AMI, berada di atas tanah warga masyarakat talaga seluas 2.000 Ha baik yang berada di dalam HPT maupun dalam areal APL yang selama ini digunakan oleh warga sebagai tempat untuk bercocok tanam. Kawasan pertambangan ini pula merupakan satu-satunya sumber air bersih bagi masyarakat talaga.
Konflik antara masyarakat Talaga dengan PT. AMI sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 2008, diawali dengan proses penolakan atas masuknya PT. AMI, namun pelan-pelan warga bisa menerima kehadiran PT. AMI dengan beberapa syarat yang pada saat itu disanggupi oleh PT. AMI. Syarat-syarat yang diajukan tersebut meliputi : Pembayaran ganti rugi lahan sebesar Rp. 5.000/Meter2, ganti rugi tanaman sebesar Rp. 500.000/pohon, dan penerimaan tenaga kerja dari warga Talaga.
Setelah proses negosiasi yang sudah memakan waktu dua tahun, komitmen PT. AMI kepada warga Talaga belum juga dipenuhi. Bahwa sampai hari ini, dari kurang lebih 142 orang pemilik lahan, baru 42 orang yang telah dibayarkan ganti rugi dengan total Rp. 750 juta dengan perhitungan yang sudah berbeda dari komitmen terdahulu, dimana masyarakat diberikan pilihan antara dua, pertama; bagi warga yang memilih pergantian lahan, maka tidak diperkenankan lagi menuntut ganti rugi tanaman, kedua; bagi masyarakat yang memilih ganti rugi tanaman, maka tidak bolem meminta ganti rugi lahan. Sehingga ke 42 orang tersebut hanya menerima ganti rugi salah satu di antra dua pilihan tersebut yaitu ganti rugi tanah saja atau ganti rugi tanaman saja. Ganti rugi tanah juga mengalami perubahan harga, dari Rp. 5.000/M2, turun menjadi Rp. 2.500/ M2, sementara untuk ganti rugi tanaman tidak mengalami perubahan, sehingga bagi masyarakat yang memiliki banyak tanaman, mereka memilih ganti rugi tanaman, jika tanamannya kurang, maka mereka memilih ganti rugi lahan. Terkait dengan penyaluran dana Community Development dari PT. AMI yang dititipkan melalui Pemerintah Kabupaten Buton, masyarakat tidak diberikan dalam bentuk uang tunai, tapi justru diberikan dalam bentuk Raskin (Beras Miskin). Belum selesai persoalan ganti rugi, ditengah proses penambangan justru menimbulkan persoalan lain yaitu budidaya rumput laut warga yang kurang lebih berjumlah 100 KK juga mengalami kegagalan panen setiap tahun, akibat limbah tambang yang langsung mengalir ke laut. Kondisi topografi yang berbukit-bukit dengan ketinggian sampai 100 meter di atas permukaan laut, menyababkan air limbah langsung mengalir ke laut dengan sangat lancar, tepat di areal budidaya nelayan-nelayan Talaga.
Pada dasarnya, keadaan masyarakat Talaga justru sangat terancam keberlanjutan mata pencaharian mereka setelah PT. AMI beroperasi sejak dua tahun lalu. Sebab, masyarakat Talaga yang memiliki mata pencaharian sebagai petani, nelayan pembudidaya dan nelayan tangkap mengalami masalah yang sangat berat. Betapa tidak, jika mereka hendak berkebun, lahan-lahan pertanian mereka sudah diakuasai oleh PT. AMI dengan sokongan penuh Pemerintah Daerah dan aparat keamanan, sementara jika mereka hendak membudidaya, laut sudah dipenuhi dengan lumpur-lumpur pertambangan, bahkan jika hendak menangkap ikan mereka harus mengayuh sampai 2 mil laut yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
Dari gambaran singkat di atas, dapatlah kita mengambil kesimpulan sementara bahwa perlawanan masyarakat Talaga yang berujung pada penangkapan atas diri mereka oleh aparat keamanan dari Polres Buton, bukanlah sebuah proses yang serta-merta terjadi, tapi telah melalui proses yang panjang dan dengan sangat sabar selama kurang lebih dua tahun. Hal mana juga menjadi alasan yang kuat bagi LBH Buton Raya, LBH Kendari, Walhi Sulawesi Tenggara untuk memfasilitasi proses advokasi, baik litigasi maupun non litigasi bagi warga Talaga untuk mendapatkan keadilan dan hak-hak mereka sebagai warga Negara yang dijamin Undang-Undang.
Hak Veto Rakyat
Konflik di lapangan terus akan berlangsung jika penetapan wilayah pertambangan dilakukan oleh pemerintah. Kendati penetapan wilayah pertambangan dinyatakan dilaksanakan secara partisipatif, posisi masyarakat berada dalam keadaan lemah, dan digiring untuk menerima operasi pertambangan masuk ke dalam lingkungan mereka. Karena itu, WALHI bersama organisasi non pemerintah lainnya beserta masyarakat sekitar kawasan yang hendak dijadikan kawasan tambang sedang melakukan permohonan judicial review Undang-undang Mineral dan Batu Bara agar penetapan wilayah pertambangan harus mendapatkan persetujuan rakyat. Dengan kata lain, hak veto rakyat atas ruang hidup diakui.
Berdasarkan surat Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Buton Nomor : 522/326 tanggal 13 Agustus 2007 perihal hasil identifikasi lokasi di Desa Wulu menerangkan bahwa Lokasi yang dimohonkan oleh PT. Arga Morini Indah untuk dijadikan kawasan pertambangan nikel merupakan kawasan hutan produksi terbatas dan sebagian lainnya merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) dengan rincian, HPT seluas 1.035 Ha dan APL seluas 955 Ha. Pada areal APL terdapat lahan masyarakat yang telah mempunyai hak milik, dan direkomendasikan agar ganti rugi lahan dan tanaman diselesaikan secara tuntas sebelum PT. Arga Morini Indah memulai kegiatan eksplorasinya. (Sumber : Hasil Riset WALHI-JPKP Buton 25 Mei s.d 30 Juni 2008).
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Buton, PT Arga Morini Indah diberikan izin eksplorasi seluas 2.000 Ha di Desa Wulu yang sebelumnya di Desa Kokoe di Kecamatan yang sama (Talaga Raya) juga telah memperoleh KP Eksplorasi seluas 1.243 Ha berdasarkan Keputusan Bupati Buton yang berlaku selama tiga tahun, sejak 2006 sampai 2009.
Sejak PT. Arga Morini Indah (AMI) melakukan eksplorasi dan eksploitasi tahun 2007 sampai sekarang, sudah membawa keresahan terhadap masyarakat Kecamatan Talaga Raya. Lokasi kuasa pertambangan eksploitasi yang dimiliki oleh PT. AMI, berada di atas tanah warga masyarakat talaga seluas 2.000 Ha baik yang berada di dalam HPT maupun dalam areal APL yang selama ini digunakan oleh warga sebagai tempat untuk bercocok tanam. Kawasan pertambangan ini pula merupakan satu-satunya sumber air bersih bagi masyarakat talaga.
Konflik antara masyarakat Talaga dengan PT. AMI sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 2008, diawali dengan proses penolakan atas masuknya PT. AMI, namun pelan-pelan warga bisa menerima kehadiran PT. AMI dengan beberapa syarat yang pada saat itu disanggupi oleh PT. AMI. Syarat-syarat yang diajukan tersebut meliputi : Pembayaran ganti rugi lahan sebesar Rp. 5.000/Meter2, ganti rugi tanaman sebesar Rp. 500.000/pohon, dan penerimaan tenaga kerja dari warga Talaga.
Setelah proses negosiasi yang sudah memakan waktu dua tahun, komitmen PT. AMI kepada warga Talaga belum juga dipenuhi. Bahwa sampai hari ini, dari kurang lebih 142 orang pemilik lahan, baru 42 orang yang telah dibayarkan ganti rugi dengan total Rp. 750 juta dengan perhitungan yang sudah berbeda dari komitmen terdahulu, dimana masyarakat diberikan pilihan antara dua, pertama; bagi warga yang memilih pergantian lahan, maka tidak diperkenankan lagi menuntut ganti rugi tanaman, kedua; bagi masyarakat yang memilih ganti rugi tanaman, maka tidak bolem meminta ganti rugi lahan. Sehingga ke 42 orang tersebut hanya menerima ganti rugi salah satu di antra dua pilihan tersebut yaitu ganti rugi tanah saja atau ganti rugi tanaman saja. Ganti rugi tanah juga mengalami perubahan harga, dari Rp. 5.000/M2, turun menjadi Rp. 2.500/ M2, sementara untuk ganti rugi tanaman tidak mengalami perubahan, sehingga bagi masyarakat yang memiliki banyak tanaman, mereka memilih ganti rugi tanaman, jika tanamannya kurang, maka mereka memilih ganti rugi lahan. Terkait dengan penyaluran dana Community Development dari PT. AMI yang dititipkan melalui Pemerintah Kabupaten Buton, masyarakat tidak diberikan dalam bentuk uang tunai, tapi justru diberikan dalam bentuk Raskin (Beras Miskin). Belum selesai persoalan ganti rugi, ditengah proses penambangan justru menimbulkan persoalan lain yaitu budidaya rumput laut warga yang kurang lebih berjumlah 100 KK juga mengalami kegagalan panen setiap tahun, akibat limbah tambang yang langsung mengalir ke laut. Kondisi topografi yang berbukit-bukit dengan ketinggian sampai 100 meter di atas permukaan laut, menyababkan air limbah langsung mengalir ke laut dengan sangat lancar, tepat di areal budidaya nelayan-nelayan Talaga.
Pada dasarnya, keadaan masyarakat Talaga justru sangat terancam keberlanjutan mata pencaharian mereka setelah PT. AMI beroperasi sejak dua tahun lalu. Sebab, masyarakat Talaga yang memiliki mata pencaharian sebagai petani, nelayan pembudidaya dan nelayan tangkap mengalami masalah yang sangat berat. Betapa tidak, jika mereka hendak berkebun, lahan-lahan pertanian mereka sudah diakuasai oleh PT. AMI dengan sokongan penuh Pemerintah Daerah dan aparat keamanan, sementara jika mereka hendak membudidaya, laut sudah dipenuhi dengan lumpur-lumpur pertambangan, bahkan jika hendak menangkap ikan mereka harus mengayuh sampai 2 mil laut yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
Dari gambaran singkat di atas, dapatlah kita mengambil kesimpulan sementara bahwa perlawanan masyarakat Talaga yang berujung pada penangkapan atas diri mereka oleh aparat keamanan dari Polres Buton, bukanlah sebuah proses yang serta-merta terjadi, tapi telah melalui proses yang panjang dan dengan sangat sabar selama kurang lebih dua tahun. Hal mana juga menjadi alasan yang kuat bagi LBH Buton Raya, LBH Kendari, Walhi Sulawesi Tenggara untuk memfasilitasi proses advokasi, baik litigasi maupun non litigasi bagi warga Talaga untuk mendapatkan keadilan dan hak-hak mereka sebagai warga Negara yang dijamin Undang-Undang.
Hak Veto Rakyat
Konflik di lapangan terus akan berlangsung jika penetapan wilayah pertambangan dilakukan oleh pemerintah. Kendati penetapan wilayah pertambangan dinyatakan dilaksanakan secara partisipatif, posisi masyarakat berada dalam keadaan lemah, dan digiring untuk menerima operasi pertambangan masuk ke dalam lingkungan mereka. Karena itu, WALHI bersama organisasi non pemerintah lainnya beserta masyarakat sekitar kawasan yang hendak dijadikan kawasan tambang sedang melakukan permohonan judicial review Undang-undang Mineral dan Batu Bara agar penetapan wilayah pertambangan harus mendapatkan persetujuan rakyat. Dengan kata lain, hak veto rakyat atas ruang hidup diakui.