Cara Kreatif Melawan Korupsi - Di Indonesia, kita tak pernah tahu seberapa dalamkah sebenarnya kuku korupsi menancap. Tapi di Italia, pada 1990 an, korupsi sudah begitu parah sehingga perlu Operasi Tangan Bersih yang dilancarkan pada awal 1993.
Temuan-temuan operasi itu membuat orang Italia kaget. Rakyat marah dan mempermalukan para politikus dan pengusaha yang bertahun-tahun menikmati kemewahan hasil korupsi. Korban berjatuhan.
Raul Gardini, seorang pengusaha terkemuka Italia yang dijuluki tukang sulap keuangan Italia dasawarsa 1980, awal Agustus 1993 bunuh diri karena malu atau tak bisa membayangkan disekap di sel tahanan. Ini kasus bunuh diri ke-12 setelah Operasi Tangan Bersih.
Operasi yang dilancarkan Hakim Antonio Di Pietro itu tergolong pemberantasan korupsi terbesar di Eropa. Dan Di Pietro tidak pandang bulu. Bekas Perdana Menteri Giulio Andreotti dan Bettino Craxi ia tarik masuk ke ruang pengadilan. Sedangkan Perdana Menteri Guiliano Amato terpaksa mengundurkan diri bulan Maret 1993.
Russel Miller, wartawan The Sunday Times Magazine, mewawancarai Pengusaha Carlo De Benedetti, orang nomor satu di Olivetti, yang membuat pernyataan penting di depan Hakim Di Pietro.
Wawancara itu dilengkapi dengan reportase dan riset Peter Semler, yang membeberkan liku-liku korupsi di Italia, dan dimuat di The Sunday Times Magazine, Juli 1993. Majalah Tempo lalu menuliskannya kembali pada Agustus 1993. Berikut ini petikannya.
Syahdan tersebutlah nama Mario Chiesa. Dia direktur partai setempat, seorang apparatchik atau birokrat setia dalam Partai Sosialis yang mengorganisasi kampanye anak Perdana Menteri Bettino Craxi, Bobo, untuk menghadapi pemilihan lokal.
Chiesa bisa mendapat pekerjaan itu, seperti semua orang yang bekerja di Milan, karenaraccomandazioni, sistem yang diperluas dari rasa suka atau tidak suka terhadap seseorang dan pemberian uang suap. Sistem raccomandazioni itu selama beberapa tahun sudah menjadi minyak pelumas dalam kehidupan orang Italia.
Duduk dengan tenang di posisinya, Chiesa mengumpuli tangenti atau uang sogok dari semua penyalur maupun kontraktor yang berhubungan dengan Pio Albergo Trivulzio. Tidak akan ada kontrak yang ditandatangani, tanpa bustarella, atau amplop kecil, yang ditinggal di meja direktur.
Kontraktor penguburan bahkan harus menyetor uang suap hanya untuk mendapat hak menguburkan seorang bekas penghuni kota. Hal itu terjadi tak lama sebelum Chiesa menanam modal di sebuah perusahaan real estate, dan sebelum ia dengan bangganya memiliki sebuah rekening pribadi di Bank Swiss.
Awal 1992, Chiesa memberi tahu Luca Magni, seorang bos perusahaan jasa pembersihan, bahwa jika Magni ingin kontraknya diperbarui lagi, ia harus mengeluarkan uang 14 juta lira atau sekitar 6.400 poundsterling.
Dengan resesi yang sudah mulai menggigit Italia, Magni merasa soal uang suap sudah cukup. Ia segera menuju Tribunale, dan menyadari bahwa ia sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan Antonio Di Pietro.
Di depannya sudah ada hakim Di Pietro, bekas polisi yang bersemangat, yang berasal dari keluarga petani kecil di selatan Italia, yang tidak punya pandangan untuk berkompromi dalam menentukan hal yang benar dan yang salah.
Sejak ditunjuk sebagai staf penuntut umum pada hakim pemeriksa, Di Pietro sudah lama menunggu orang-orang seperti Magni datang ke kantornya. Sebagai seorang petugas hukum yang pertama kali menggunakan komputer di Milan, Di Pietro dengan rajin mencatat semua keping informasi yang mungkin ada hubungannya dengan uang suap. Dan ia yakin, walaupun tanpa bukti-bukti yang akurat, korupsi di Italia sudah menyebar luas lebih daripada yang disadari orang.
Tidak ada peristiwa yang terlalu kecil baginya untuk tidak dicatat. Ketika seorang wanita melempar jutaan lira dari jendela karena bertengkar dengan suaminya, Di Pietro berpikir bahwa uang itu mungkin saja hasil uang suap. Ia pun mencatat peristiwa itu dalam komputernya.
Di Pietro sudah lama curiga melihat Chiesa, dan mencatat bahwa istrinya yang sudah hidup terpisah, Laura, minta tunjangan perceraian yang jumlahnya sangat besar. Jumlah yang jauh di luar proporsi pendapatan suaminya yang sopan, sebagai seorang pegawai kecil di kantor bendahara. Ia tahu bahwa Mario Chiesa menghimpun dana sebesar tujuh juta poundsterling selama enam tahun menjadi direktur Pio Albergo Trivulzio, dan ia minta sebagian dari dana itu.
Tanggal 17 Februari 1992, Magni datang ke kantor Chiesa dengan menggunakan mikrofon tersembunyi dan membawa tujuh juta lira dalam bentuk cek, setengah dari jumlah yang diharapkan Chiesa. Beberapa menit setelah uang diserahkan, Di Pietro dan satu regu polisi Carabinieri menerobos masuk dan menemukan Chiesa sedang berusaha melenyapkan uang itu di dalam kloset kamar mandi. Tindakan Chiesa terlambat, dan ia segera jadi salah seorang tersangka.
Chiesa segera ditahan dan diperiksa di penjara yang terkenal kejam di Milan, San Vittore, tempat bekas teroris Brigade Merah dan tukang pukul mafia menjual obat-obatan dan mabuk-mabukan dalam suasana yang sempit dan berdesakan. Di Petro mengatakan Chiesa akan dilepas jika bersedia “bernyanyi”.
Chiesa tahu banyak hal dan ia sadar tentang konsekuensi yang tidak menyenangkan jika ia “bernyanyi” tentang apa yang ia ketahui. Akibatnya, ia bertahan di sel San Vittore selama beberapa minggu sebelum akhirnya setuju untuk bekerja sama. Dan ketika mulai bicara, tampaknya ia tidak bisa berhenti lagi.
Dengan menyebutkan banyak nama sambil mengutip beberapa angka, ia sebenarnya melukis gambaran dari intrik-intrik, jaringan organisasi korupsi kelas tinggi yang merasuk di Kota Milan pada semua tingkatan. Ia menjelaskan bagaimana perusahaan besar maupun kecil membayar uang suap untuk memperoleh kontrak-kontrak pemerintah, bagaimana Partai Sosialis dan Kristen Demokrat membagi-bagi uang suap itu dan meneruskannya ke partai-partai yang lebih kecil sebagai uang tutup mulut. Bahkan Partai Komunis juga mendapat bayaran tutup mulut.
Ia menjelaskan bagaimana patron politik bekerja, bagaimana rumah dan apartemen yang dimiliki perusahaan negara diberikan pada pendukung partai dengan tarif sewa yang sangat murah, bagaimana gaji dibayarkan untuk pekerjaan yang tidak pernah ada, bagaimana pensiun hanya diberikan pada orang-orang yang disenangi saja, bagaimana wartawan dibeli, bagaimana sekelompok besar penipu, tukang tadah, dan penggelap pajak mengambil untung dari sistem yang sudah busuk sampai ke akar-akarnya.
Dipersenjatai dengan arsip-arsip luar biasa dari Chiesa, Di Pietro mulai memanggil para tersangka untuk diperiksa. Makin banyak penahanan terjadi, makin banyak pula informan yang datang untuk menyelamatkan diri sendiri.
Sampai akhir Mei, sebanyak 26 pegawai tingkat kecamatan, politisi lokal, dan pengusaha sudah ditahan dan didakwa dengan tuduhan korupsi. Sebulan kemudian jumlah orang yang ditahan membubung tinggi sampai lebih dari 40 orang. Dan yang lebih penting, penyelidikan mulai menyebar ke Roma dan kota-kota lainnya.
Penggelapan pajak, pelanggaran hukum, dan sekadar kepatuhan mengisi formulir resmi merupakan hal yang rutin di Italia. Namun, ketika satu rahasia terbuka, diikuti rahasia lainnya, dan jumlah orang yang ditahan makin banyak, orang Italia tetap terpesona, dan kemudian sedih, melihat parahnya kanker korupsi yang merembes dalam kehidupan mereka.
Politisi, yang dahulu terbiasa disapa dengan penghormatan yang menjilat dalam setiap acara keramaian, tiba-tiba menghadapi publik yang secara konfrontatif menyoraki Ladri!, Ladri! (pencuri-pencuri) .
Para pengemudi mobil ikut menunjukkan rasa muak mereka dengan cara Italia yang indah; mereka melempar uang koin dari jendela mobil jika melewati kantor partai atau kantor pemerintah.
Setelah diumumkan bahwa Gianni De Michelis, bekas menteri luar negeri yang gendut, berada dalam pemeriksaan dengan tuduhan menyelewengkan bantuan luar negeri, ia langsung dikelilingi oleh gerombolan orang yang marah di Venice. Bekas menteri yang terkenal dengan hobi mengurus rambut ke salon dan dansa di disko-disko itu dipaksa secara tidak senonoh pergi meninggalkan Venice lewat Grand Canal. Michelis memang menolak semua tuduhan.
Di sisi lain, Di Pietro sudah diangkat menjadi pahlawan nasional. Setiap hari jika tiba di Tribunale, ia selalu dikelilingi gerombolan wartawan maupun fotografer dan ditepuki oleh orang-orang. Namanya juga mulai muncul di kaos-kaos oblong dan disanjung-sanjung lewat tulisan grafiti di tembok-tembok kota.
Hanya 12 bulan setelah Chiesa ditemukan sedang berusaha melenyapkan uang sogokan di toilet, lebih dari 2.300 orang dari posisi tinggi di kalangan politisi Italia maupun dari dunia pengusaha berada dalam proses penyelidikan. Sebanyak 1.356 surat penahanan sudah dikeluarkan.
Bettino Craxi didesak untuk mundur setelah selama 16 tahun menjadi pemimpin Partai Sosialis. Dan Giulio Andreotti, bekas negarawan terkemuka Italia, yang tujuh kali menjabat perdana menteri, juga ikut diselidiki dengan tuduhan korupsi serta hubungan dengan mafia.
Diperkirakan pembayaran uang suap di Italia mencapai sekitar 65% dari defisit negara. Hampir semua pemimpin industri milik negara memberi maupun menerima pembayaran gelap untuk kontrak-kontrak. Sergia Castellari, bekas menteri yang bertanggung jawab atas perusahaan negara, ditemukan meninggal di halaman vilanya di luar pinggiran Roma bulan Februari 1993.
Ia menembak dirinya sendiri dengan pistol, dan diduga sedang mabuk dengan botol wiski yang masih tersisa setengah di sebelahnya. Cek besar dari perusahaan kontraktor ditemukan di rumahnya. Castelari adalah orang kedelapan dalam pembunuhan tangentopoli, istilah yang digunakan untuk skandal penyuapan.
Kisah tentang operasi pemberantasan korupsi di Italia, mengingatkan saya pada sebuah republik yang juga tengah menghadapi masalah yang sama. Di republik itu pun bahkan ada orang yang menyanyi seperti Chiesa dan menyeret teman-temannya*. Ndorokakung
Raul Gardini, seorang pengusaha terkemuka Italia yang dijuluki tukang sulap keuangan Italia dasawarsa 1980, awal Agustus 1993 bunuh diri karena malu atau tak bisa membayangkan disekap di sel tahanan. Ini kasus bunuh diri ke-12 setelah Operasi Tangan Bersih.
Operasi yang dilancarkan Hakim Antonio Di Pietro itu tergolong pemberantasan korupsi terbesar di Eropa. Dan Di Pietro tidak pandang bulu. Bekas Perdana Menteri Giulio Andreotti dan Bettino Craxi ia tarik masuk ke ruang pengadilan. Sedangkan Perdana Menteri Guiliano Amato terpaksa mengundurkan diri bulan Maret 1993.
Russel Miller, wartawan The Sunday Times Magazine, mewawancarai Pengusaha Carlo De Benedetti, orang nomor satu di Olivetti, yang membuat pernyataan penting di depan Hakim Di Pietro.
Wawancara itu dilengkapi dengan reportase dan riset Peter Semler, yang membeberkan liku-liku korupsi di Italia, dan dimuat di The Sunday Times Magazine, Juli 1993. Majalah Tempo lalu menuliskannya kembali pada Agustus 1993. Berikut ini petikannya.
Syahdan tersebutlah nama Mario Chiesa. Dia direktur partai setempat, seorang apparatchik atau birokrat setia dalam Partai Sosialis yang mengorganisasi kampanye anak Perdana Menteri Bettino Craxi, Bobo, untuk menghadapi pemilihan lokal.
Chiesa bisa mendapat pekerjaan itu, seperti semua orang yang bekerja di Milan, karenaraccomandazioni, sistem yang diperluas dari rasa suka atau tidak suka terhadap seseorang dan pemberian uang suap. Sistem raccomandazioni itu selama beberapa tahun sudah menjadi minyak pelumas dalam kehidupan orang Italia.
Duduk dengan tenang di posisinya, Chiesa mengumpuli tangenti atau uang sogok dari semua penyalur maupun kontraktor yang berhubungan dengan Pio Albergo Trivulzio. Tidak akan ada kontrak yang ditandatangani, tanpa bustarella, atau amplop kecil, yang ditinggal di meja direktur.
Kontraktor penguburan bahkan harus menyetor uang suap hanya untuk mendapat hak menguburkan seorang bekas penghuni kota. Hal itu terjadi tak lama sebelum Chiesa menanam modal di sebuah perusahaan real estate, dan sebelum ia dengan bangganya memiliki sebuah rekening pribadi di Bank Swiss.
Awal 1992, Chiesa memberi tahu Luca Magni, seorang bos perusahaan jasa pembersihan, bahwa jika Magni ingin kontraknya diperbarui lagi, ia harus mengeluarkan uang 14 juta lira atau sekitar 6.400 poundsterling.
Dengan resesi yang sudah mulai menggigit Italia, Magni merasa soal uang suap sudah cukup. Ia segera menuju Tribunale, dan menyadari bahwa ia sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan Antonio Di Pietro.
Di depannya sudah ada hakim Di Pietro, bekas polisi yang bersemangat, yang berasal dari keluarga petani kecil di selatan Italia, yang tidak punya pandangan untuk berkompromi dalam menentukan hal yang benar dan yang salah.
Sejak ditunjuk sebagai staf penuntut umum pada hakim pemeriksa, Di Pietro sudah lama menunggu orang-orang seperti Magni datang ke kantornya. Sebagai seorang petugas hukum yang pertama kali menggunakan komputer di Milan, Di Pietro dengan rajin mencatat semua keping informasi yang mungkin ada hubungannya dengan uang suap. Dan ia yakin, walaupun tanpa bukti-bukti yang akurat, korupsi di Italia sudah menyebar luas lebih daripada yang disadari orang.
Tidak ada peristiwa yang terlalu kecil baginya untuk tidak dicatat. Ketika seorang wanita melempar jutaan lira dari jendela karena bertengkar dengan suaminya, Di Pietro berpikir bahwa uang itu mungkin saja hasil uang suap. Ia pun mencatat peristiwa itu dalam komputernya.
Di Pietro sudah lama curiga melihat Chiesa, dan mencatat bahwa istrinya yang sudah hidup terpisah, Laura, minta tunjangan perceraian yang jumlahnya sangat besar. Jumlah yang jauh di luar proporsi pendapatan suaminya yang sopan, sebagai seorang pegawai kecil di kantor bendahara. Ia tahu bahwa Mario Chiesa menghimpun dana sebesar tujuh juta poundsterling selama enam tahun menjadi direktur Pio Albergo Trivulzio, dan ia minta sebagian dari dana itu.
Tanggal 17 Februari 1992, Magni datang ke kantor Chiesa dengan menggunakan mikrofon tersembunyi dan membawa tujuh juta lira dalam bentuk cek, setengah dari jumlah yang diharapkan Chiesa. Beberapa menit setelah uang diserahkan, Di Pietro dan satu regu polisi Carabinieri menerobos masuk dan menemukan Chiesa sedang berusaha melenyapkan uang itu di dalam kloset kamar mandi. Tindakan Chiesa terlambat, dan ia segera jadi salah seorang tersangka.
Chiesa segera ditahan dan diperiksa di penjara yang terkenal kejam di Milan, San Vittore, tempat bekas teroris Brigade Merah dan tukang pukul mafia menjual obat-obatan dan mabuk-mabukan dalam suasana yang sempit dan berdesakan. Di Petro mengatakan Chiesa akan dilepas jika bersedia “bernyanyi”.
Chiesa tahu banyak hal dan ia sadar tentang konsekuensi yang tidak menyenangkan jika ia “bernyanyi” tentang apa yang ia ketahui. Akibatnya, ia bertahan di sel San Vittore selama beberapa minggu sebelum akhirnya setuju untuk bekerja sama. Dan ketika mulai bicara, tampaknya ia tidak bisa berhenti lagi.
Dengan menyebutkan banyak nama sambil mengutip beberapa angka, ia sebenarnya melukis gambaran dari intrik-intrik, jaringan organisasi korupsi kelas tinggi yang merasuk di Kota Milan pada semua tingkatan. Ia menjelaskan bagaimana perusahaan besar maupun kecil membayar uang suap untuk memperoleh kontrak-kontrak pemerintah, bagaimana Partai Sosialis dan Kristen Demokrat membagi-bagi uang suap itu dan meneruskannya ke partai-partai yang lebih kecil sebagai uang tutup mulut. Bahkan Partai Komunis juga mendapat bayaran tutup mulut.
Ia menjelaskan bagaimana patron politik bekerja, bagaimana rumah dan apartemen yang dimiliki perusahaan negara diberikan pada pendukung partai dengan tarif sewa yang sangat murah, bagaimana gaji dibayarkan untuk pekerjaan yang tidak pernah ada, bagaimana pensiun hanya diberikan pada orang-orang yang disenangi saja, bagaimana wartawan dibeli, bagaimana sekelompok besar penipu, tukang tadah, dan penggelap pajak mengambil untung dari sistem yang sudah busuk sampai ke akar-akarnya.
Dipersenjatai dengan arsip-arsip luar biasa dari Chiesa, Di Pietro mulai memanggil para tersangka untuk diperiksa. Makin banyak penahanan terjadi, makin banyak pula informan yang datang untuk menyelamatkan diri sendiri.
Sampai akhir Mei, sebanyak 26 pegawai tingkat kecamatan, politisi lokal, dan pengusaha sudah ditahan dan didakwa dengan tuduhan korupsi. Sebulan kemudian jumlah orang yang ditahan membubung tinggi sampai lebih dari 40 orang. Dan yang lebih penting, penyelidikan mulai menyebar ke Roma dan kota-kota lainnya.
Penggelapan pajak, pelanggaran hukum, dan sekadar kepatuhan mengisi formulir resmi merupakan hal yang rutin di Italia. Namun, ketika satu rahasia terbuka, diikuti rahasia lainnya, dan jumlah orang yang ditahan makin banyak, orang Italia tetap terpesona, dan kemudian sedih, melihat parahnya kanker korupsi yang merembes dalam kehidupan mereka.
Politisi, yang dahulu terbiasa disapa dengan penghormatan yang menjilat dalam setiap acara keramaian, tiba-tiba menghadapi publik yang secara konfrontatif menyoraki Ladri!, Ladri! (pencuri-pencuri) .
Para pengemudi mobil ikut menunjukkan rasa muak mereka dengan cara Italia yang indah; mereka melempar uang koin dari jendela mobil jika melewati kantor partai atau kantor pemerintah.
Setelah diumumkan bahwa Gianni De Michelis, bekas menteri luar negeri yang gendut, berada dalam pemeriksaan dengan tuduhan menyelewengkan bantuan luar negeri, ia langsung dikelilingi oleh gerombolan orang yang marah di Venice. Bekas menteri yang terkenal dengan hobi mengurus rambut ke salon dan dansa di disko-disko itu dipaksa secara tidak senonoh pergi meninggalkan Venice lewat Grand Canal. Michelis memang menolak semua tuduhan.
Di sisi lain, Di Pietro sudah diangkat menjadi pahlawan nasional. Setiap hari jika tiba di Tribunale, ia selalu dikelilingi gerombolan wartawan maupun fotografer dan ditepuki oleh orang-orang. Namanya juga mulai muncul di kaos-kaos oblong dan disanjung-sanjung lewat tulisan grafiti di tembok-tembok kota.
Hanya 12 bulan setelah Chiesa ditemukan sedang berusaha melenyapkan uang sogokan di toilet, lebih dari 2.300 orang dari posisi tinggi di kalangan politisi Italia maupun dari dunia pengusaha berada dalam proses penyelidikan. Sebanyak 1.356 surat penahanan sudah dikeluarkan.
Bettino Craxi didesak untuk mundur setelah selama 16 tahun menjadi pemimpin Partai Sosialis. Dan Giulio Andreotti, bekas negarawan terkemuka Italia, yang tujuh kali menjabat perdana menteri, juga ikut diselidiki dengan tuduhan korupsi serta hubungan dengan mafia.
Diperkirakan pembayaran uang suap di Italia mencapai sekitar 65% dari defisit negara. Hampir semua pemimpin industri milik negara memberi maupun menerima pembayaran gelap untuk kontrak-kontrak. Sergia Castellari, bekas menteri yang bertanggung jawab atas perusahaan negara, ditemukan meninggal di halaman vilanya di luar pinggiran Roma bulan Februari 1993.
Ia menembak dirinya sendiri dengan pistol, dan diduga sedang mabuk dengan botol wiski yang masih tersisa setengah di sebelahnya. Cek besar dari perusahaan kontraktor ditemukan di rumahnya. Castelari adalah orang kedelapan dalam pembunuhan tangentopoli, istilah yang digunakan untuk skandal penyuapan.
Kisah tentang operasi pemberantasan korupsi di Italia, mengingatkan saya pada sebuah republik yang juga tengah menghadapi masalah yang sama. Di republik itu pun bahkan ada orang yang menyanyi seperti Chiesa dan menyeret teman-temannya*. Ndorokakung