Pada suatu siang yang panas, seorang pengembara sedang berjalan di sebuah padang rumput. Karena sudah cukup jauh berjalan, ia merasa lapar dan haus. Ia melihat sebatang pohon beringin besar di tepi padang rumput dan memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Sang pengembara pun duduk di bawah pohon beringin yang sangat rindang itu. Ia kemudian membuka bekalnya dan mulai makan.
Setelah makan dan minum, ia merasa mengantuk. Ia pun merebahkan tubuhnya dengan akar pohon beringin sebagai bantalnya. Ia memandangi daun pohon beringin yang rindang dan melihat buah-buah beringin yang merah kecil-kecil di sela-sela daun.
Pengembara itu tersenyum dan berkata kepada dirinya sendiri, “Aneh sekali, pohon sebesar ini mempunyai buah yang sangat kecil. Pantasnya buahnya paling tidak sebesar kepalan tanganku ini, mungkin bahkan lebih besar lagi.”
Hembusan angin semilir dan suara desir daun-daun beringin membuat mata pengembara pun makin berat. Ia pun jatuh tertidur.
Pada suatu saat angin kencang bertiup dan buah- buah beringin berjatuhan. Beberapa di antaranya jatuh menimpa tubuh dan wajah sang pengembara. Sebuah bahkan mengenai hidungnya. Terkejut, ia pun terbangun. Ia mengusap-usap hidungnya yang sekarang kotor karena air buah beringin yang pecah.
Sadar bahwa hidungnya tadi kejatuhan buah merah kecil itu, ia pun berkata, “Alangkah bodohnya aku. Untunglah buah beringin hanya sebesar ini. Apa jadinya bila buahnya besar?”
Sang pengembara memandangi pohon beringin dengan sulur-sulur yang berayun pelan karena hembusan angin. Ia pun bangkit dan melanjutkan perjalanannya.