Tokoh pers Rosihan Anwar mengakui, dewasa ini industri pers semakin tumbuh sehingga banyak perusahaan pers atau media mengalami pertumbuhan pendapatan dan asset secara signifikan. Tetapi, dalam situasi yang sama nasib sebagian besar wartawan Indonesia justru masih memprihatinkan.
Itu terlihat dari kenyataan bahwa banyak wartawan yang tidak bisa hidup secara layak bersama keluarganya jika hanya mengandalkan bekerja sebagai jurnalis atau menulis berita di surat kabar. Pasalnya, banyak perusahaan media khususnya media di daerah yang mengabaikan kesejahteraan wartawan dengan memberi penghargaan yang tidak sebanding dengan kebutuhan hidup layak seorang wartawan dan keluarganya.
Akibatnya, sejumlah wartawan atau jurnalis terkadang harus “terpaksa” mencari usaha sampingan, atau melacurkan diri dan profesinya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Jika berpegang kepada etika profesi yang ada dalam kode etik jurnalistik dan Undang Undang Pers seyogyanya seorang jurnalis mampu bekerja secara professional dan fokus pada pekerjaanya untuk mencari dan membuat berita serta menyajikannya dalam bentuk tulisan yang enak untuk dibaca masyarakat.
Oleh karena itu, pendapatan dan kesejahteraan bagi seorang jurnalis patut diabaikan, terlebih ada pandangan di komunitas pekerja pers bahwa jika ingin sejahtera atau kaya jangan bekerja di perusahaan pers atau media.
Pekerja pers juga tidak hanya dituntut untuk bekerja secara professional, tetapi harus mengemban beban yang cukup berat sebagai pilar ke empat demokrasi.
Bahkan, pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring dalam hari Pers Nasional beberapa hari lalu mengatakan, jurnalis juga harus ikut aktif berperan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai apa yang tercantum dalam Preambule UUD.
Ketua Dewan Pers Bagir Manan juga ikut menambah tugas jurnalis sebagai orang yang mestinya ikut mengemban misi pemerintah dalam berbangsa dan bernegara. Untuk itu, kata Bagir, pers harus menyampaikan berita yang valid, akurat, benar dan berimbang serta penuh tanggung jawab dan disipilin.
Dengan tanggung jawab dan tugas yang demikian besar tersebut, sulit menerka apakah seorang jurnalis mampu memikul dengan kondisi perekonomiannya yang pas pasan, sebab kondisi ekonomi jurnalis biasanya akan mempengaruhi cara kerja dan produk atau tulisan yang dihasilkan.
Wartawan yang berkualitas, sudah pasti akan melahirkan produk yang berkualitas baik itu berita atau tulisan yang ia tulis. Namun, produk wartawan yang berkualitas tersebut tak akan lahir dari sikap dasar wartawan yang hanya mengandalkan semangat.
Wartawan professional mestinya didukung oleh manajamen industri media yang juga profesional. Artinya, manajemen media mampu menerapkan sistem dan mekanisme kerja yang teratur dan terukur.
Industri media dinilai banyak orang cukup unik dan sangat khas tidak sama dengan industri lain seperti industri tekstil yang produknya bisa dijual di butik, berhari hari bahkan berbulan-bulan dipajang, namun masih tetap laku karena tidak akan basi.
Perusahaan media terlebih surat kabar harian, lebih mirip dengan industri makanan yang gampang busuk. Jika produknya tidak terjual dalam satu hari maka jangan harap bisa laku ke esokan harinya. Sebab tidak ada pembaca atau masyarakat yang akan membeli Koran yang beritanya sudah terbit di media lain, karena ibarat makanan sudah basi.
Jika produknya basi dan tidak laku maka perusahaan media akan menanggung kerugian dan banyak perusahaan media penerbit surat kabar atau Koran yang selalu menanggung kerugian setiap harinya disebabkan produk tidak terjual dengan berbagai alasan. Oleh karena itu, perusahaan media idealnya bisa menciptakan manajemen yang berkualitas untuk mendapatkan produk yang juga berkualitas. (gus).