Tak diragukan lagi, bahwa serangga mengandung protein yang tinggi. Tak heran bila sejak lama sudah banyak pemikiran untuk memanfaatkan serangga sebagai 'kudapan' yang menyehatkan.
Baru-baru ini, para peneliti dari Wageningen University Belanda, menegaskan kembali hal itu dengan hasil terbaru dari studi mereka.
Memang menjadikan serangga sebagai makanan mungkin masih menjijikkan bagi sebagian besar orang. Namun, di beberapa tempat, seperti misalnya di Afrika bagian selatan, ulat Mopani, adalah snack yang cukup populer.
Orang Jepang juga sudah sejak lama mengkonsumsi larva serangga air, sementara orang Meksiko juga sudah sering menjadikan belalang sebagai makanan. Sayangnya tradisi ini tidak cukup populer di kebudayaan modern.
Padahal, menurut hasil riset tim Wageningen University, serangga menyumbang jejak gas rumah kaca yang lebih banyak karena memproduksi lebih sedikit methan, nitrous oxide, dan ammonia, daripada daging sapi atau babi.
"Ini membuktikan bahwa hipotesis bahwa serangga bisa menjadi sumber protein yang lebih efisien, dan saya sangat yakin akan ada serangga yang dapat dimakan, di masa depan," kata Dennis Oonincx, dari Wageningen University.
Padahal, Food and Agriculture Organization (FAO) menyalahkan sektor pangan sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca yang cukup besar, yakni sekitar 9 persen dari emisi karbon dioksida. Salah satu yang terbesar, adalah dari penggunaan lahan (37 persen dari methan dan 65 persen emisi nitrous oxide).
Oleh karenanya, mereka berkesimpulan bahwa konsumsi serangga bisa menjadi solusi yang tepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, yakni mampu mereduksi hingga 30 persen pada produksi pangan, berkat penurunan dari konsumsi daging. Tak hanya itu, ini juga berarti akan ada pengurangan kematian tiba-tiba akibat penyakit jantung.
Sumber : Vivanews