Minggu, 17 Oktober 2010

Sekilas Tentang Konflik SBY dan RMS

Sekilas Tentang Konflik SBY dan Republik Maluku Selatan (RMS) - Sewaktu pemilu parlemen Belanda di tahun 2006, Partai Buruh (PvdA, Partij van de Arbeid) telah kehilangan sejumlah kursi, pemilihnya ada yang bergeser ke Partai Sosialis (SP, Partij Socialist), pada pemilu tahun 2010 ini partai sayap kanan Kristen Demokrat (CDA, Christen Democratisch Appel) dan Partai Liberal (VVD, Volkspartij voor de Vrijheid en Democratie) juga mengalami kehilangan kursi pindah ke Partai Geert Wilders yang bernama Partai untuk Kebebasan (PVV, Partij voor de Vrijheid).

Kini barisan massa beraliran ultra-kanan telah menyatu, karena kemenangan dari dukungan suara sebanyak 76 kursi dalam kabinet partai pemerintahan baru, yaitu CDA, VVD, PVV. Akhirnya menjadi jelaslah, bahwa proses pergeseran dan pergesekan antara ketiga kekuatan aliran tradisional itu, tercermin pula di kalangan golongan etnis di Belanda, dimana peranannya sebagai pendukung loyalis golongan Ultra Kanan.

Lalu, sampai sejauh manakah posisi golongan etnis Maluku, Indo Belanda dan golongan “non-muslim tapi non-kulit putih” seperti golongan Veteran eks KNIL dan golongan etnis Suriname berperan dalam pendukungan kepentingan politik PVV Geert Wilders?

PVV dan RMS

Seperti kisah suksesnya populis Ultra kanan Pim Fortuyn (Driehuis, 19 februari 1948 - Hilversum 6 mei 2002), lalu kini sosok Geert Wilders telah berhasil pula untuk menempati peranan tokoh sentral populisme berhaluan ultra kanan di negeri Belanda, yang digambarkan sebagai figur fasis, rasis, “provinsial”, xenophobi dan “liberal berdarah murni”.

Pandangan dia, menurut salah satu ilmuwan politik, Meindert Fennema (UvA, Universiteit van Amsterdam), benar-benar ekstrim, radikal kanan, dan anti Islam, yang sama dengan gerakan ultra kanan dari Jean Marie Le Pen (Front Nationale, Perancis), Filip de Winter (Vlaamse Belang, Belgia).

Bahkan kampanye politik Wilders dianggap ‘mengganggu’ stabilitas politik di Eropa, serta jauh melampaui batas hukum negaranya. Wilders sendiri menyebut dirinya baru-baru ini sebagai sosok “pejuang untuk kebebasan Belanda”, sebelum itu ia menggambarkan dirinya sebagai “demokrat sejati”.

Ada seorang pengamat internet yang selama masa pemilu 2010 berlangsung telah menyatakan bahwa PVV tampaknya menjadi populer di komunitas masyarakat Maluku. Dalam sebuah jejak pendapat di website ‘Buka Mulu.nl’, telah menunjukan lebih dari 50% pengunjung website tersebut memilih PVV, mungkin tidak sepenuhnya sebagai angka representatif tetapi dapat menjadi indikasi bahwa PVV didukung oleh mayoritas etnis Maluku di Belanda.

Pada bulan September 2009, koran Belanda NRC Handelsblad mempublikasikan hasil penelitian tentang profil pemilih PVV. a.l.:
1. di dalam pendukung PVV sendiri terjadi polarisasi dalam menanggapi isu-isu program agenda politiknya.
2. pemilih PVV banyak didapat dari suara-suara yang kecewa dengan pemerintahan koalisi di bawah pimpinan Balkenende saat ini.
3. PVV pemilih berpikir lebih negatif tentang imigran karena pengalaman buruknya dengan kelompok etnis non kulit putih.

Selain itu, PVV banyak mendapat dukungan dari kaum laki-laki, dari golongan berpendidikan rendah, dan kaum pengangguran. Para pemilih PVV ini juga dinilai lebih memiliki kesadaran politik bila dibandingkan dengan rata-rata penduduk di Belanda yang a-politis.

Sehubungan dengan sikap pemerintah kabinet Balkenende, peneliti Masyarakat Maluku di Belanda, Justus Veenman dan Trees Tunjanan, menyimpulkan  bahwa banyak kekecewaan masyarakat Maluku ini terhadap kabinet Balkenende, terutama kebijakan dalam negerinya.

PVV juga menilai bila pemilihnya rata-rata berfikiran negatif dan anti orang Maroko, itu adalah merupakan kesempatan emas bagi Geert Wilders untuk memanfaatkan momentum ketegangan sosial antar golongan imigran, yang pernah terjadi di beberapa kota di Belanda.

Misalnya  pertikaian antara golongan remaja Maroko dan Maluku, kemudian berlanjut ke konflik sosial sampai pada kasus pembakaran gereja Maluku di Hoogeveen dan di Nijverdal, tentunya menjadi kelanjutan berita spektakuler di media cetak, elektronik maupun televisi.

Keresahanpun di kalangan masyarakat Maluku semakin meningkat, misalnya di Culemborg, tapi juga terjadi di Utrecht, Gouda dan Assen. Geert Wilders adalah satu satunya politikus yang turut aktip di Twitter dalam menanggapi penanganan kerusuhan antara remaja Maluku dan Maroko di  awal tahun ini di Culemborg.

Kedua peneliti Belanda itu melihat status sosial ekonomi yang rendah dari golongan etnis Maluku sebagai penjelasan golongan paria di Belanda. Pemerintah dinilai berperan kurang baik dalam menangani persoalan proses integrasi masyarakat pendatang di Belanda. Kasus ini terbukti dari hasil penelitiannya, bahwa masyarakat Maluku tidak berprestasi tinggi dalam pendidikan Belanda, skor mereka di bawah kelompok-kelompok imigran lainnya.

Peneliti Justus Veenman dan T. Tunjanan juga mencatat adanya “stagnasi proses integrasi” dari generasi ke 3 di golongan masyarakat Maluku di Belanda. Para peneliti lainnyapun terkejut melihat sangat minimal perhatian pemerintah terhadap dampak dari pengaruh kebijakan “Integrasi”, yang sangat merugikan, sehingga sekarang terlihatlah bukti keterbelakangan tingkat pendidikan golongan remaja etnis Maluku.

Kedua peneliti itu juga menunjukan faktor latar belakang lambatnya perkembangan etnis Maluku ini, dimana sejak kedatangan mereka awal tahun lima puluhan di Belanda  itu, antara lain karena distimulasi serta diarahkan supaya mereka kembali ke Tanah Kelahirannya, dengan melalui Undang-undang “Remigrasi”. Kenyataan ini mengejutkan banyak pihak di masyarakat umum di Belanda maupun golongan etnis Maluku sendiri.

G.Wilders vs F. Habibie

Ditambah lagi kekecewaan golongan etnis Maluku terhadap kebijakan luar negeri Belanda di Indonesia dalam menangani persoalan pelanggaran HAM. Kekecewaan ini terutama ditujukan pada sikap politik Menteri Luar negeri Verhagen yang sehubungan dengan kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Pernyataan dubes F. Habibie melalui koran Belanda menjadi bola panas di Den Haag, yang isinya antara lain: “Mungkin para pemilih partainya Wilders menderita Xenophobie”, rupanya berhasil memancing reaksi kemarahan Geert Wilders bersama massa pendukung loyalisnya.

Segera figur populis ini yang sedang naik daun itu, memberi komando kepada Menlu Verhagen untuk menegur dubes Indonesia. Dalam hal ini pengujian kekuatan pengaruh politik Ultra Kanan Geert Wilders terbukti berhasil membangkitkan jiwa “patriotisme” di dalam negerinya.

Bagi pribadi Geert Wilders, panutan “Nasional Patriotisme” adalah obat mujarab untuk memperkuat front persatuan dan memelihara pengaruh lingkungan masyarakat di Belanda, dan menjaga nilai-nilai warisan budaya serta keyakinan sakral  pada zaman kejayaan Kolonialisme Belanda. Panutan ini yang di terapkan dan di promosikan di dalam negerinya itu, dianggap layak menguak impian cita-cita “tanah air” West Papua, dimana pihak pemerintahan Belanda pernah menjanjikan akan dihibahkan kedaulatannya kepada golongan eks veteran KNIL dan Indo Belanda.

Impian cita-cita “Tanah Air” itu rupanya dilatarbelakangi pula oleh peristiwa sejarah kehidupan Kakek, Nenek bersama Ibunya Geert Wilders. Kakeknya yang bernama John Ording, di tahun 1933 menjabat sebagai wakil Inspektur untuk Pengawasan Keuangan di Surabaya, dan setahun kemudian ia dipecat secara “tidak Hormat”, lalu meninggal dunia pada tahun 1942 di Sukabumi. Sedangkan Neneknya bernama Johanna Ording adalah keturunan Yahudi-Belanda meninggal tahun 1946 di Kosentrasi Kamp Jepang. Selama bermukim di Hindia Belanda nasib hidup keluarga Ibunya diasingkan dan ditelantarkan oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Maka tak mengherankan bila progam Wilders, nyatanya sangat berguna bagi orang-orang yang antara lain:
- Menginginkan pengembalian uang pajak cicilan rumah bagi para pemilik rumah
- Menginginkan peningkatan perawatan untuk orang tua
- Mengkampanyekan anti Islam
- Mengkampanyekan kebebasan berpendapat tanpa batas
- Menginginkan adanya peningkatan budaya, identitas dan tradisi Belanda
- Merealisasi peningkatan hidup bangsa Belanda asli sebagai bagian dari masyarakat bangsa Aria

Riwayat “haat en liefde relatie”  alias hubungan cinta tapi benci antara Indonesia dan Belanda nampaknya terganggu lagi dalam kepentingan ekonominya. Padahal sejak lahirnya sistem Orde Baru, pemerintah Belanda selalu “menganak-emaskan” kepentingan Indonesia (Soeharto), dulu Belanda menjadi salah satu donornya melalui IGGI, Inter Governmental Group of Indonesia.

Banyak kasus-kasus pelanggaran HAM berat sejak peristiwa berdarah 1965/1966 sampai pada kasus pendudukan Militer Indonesia di Timor Timur mendapat perhatian besar dari masyarakat Belanda melalui LSM yang memperjuangkan Hak Asasi Manusia. Akan tetapi kekuatan LSM HAM Belanda tersebut tak mampu mematahkan kekuatan “Haat en Liefde relatie” antar bekas negara penjajah dan negara yang pernah di jajah itu. Mengingat peranan LSM HAM berfungsi untuk ‘menina bobokan’ kasus-kasus keresahan akibat tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak rejim Militer Diktator Indonesia, dibawah pimpinan Soeharto.

Pernyataan Dubes Indonesia itu, mungkin jadi godaan yang besar bagi Wilders si penebus dosa kakek-neneknya dari pihak Ibu. Atau mungkin hanya rasa dendam kesumat Wilders pribadi, dengan misi ekstrimnya itu karena akibat efek dari keterasingan identitasnya, tapi juga seperti berakar jiwa panutan dari kakeknya sebagai salah satu pengikut NSB (Nationaal Socialistische Beweging) di Indonesia.

NSB adalah organisasi massa yang dibentuk tahun 1931 di Belanda. Namun kemudian dalam perkembangannya, NSB membentuk dirinya sebagai partai dibawah kekuasaan rejim Fasis Hitler. Pada tahun 1937 NSB sebagai gerakan Fasis di Hindia Belanda mengalami jaman keemasannya, dengan jumlah sebanyak 5000 anggota. Seperti pula Wilders nyatakan dalam wawancaranya di NRC Handelsblad: “Sudah saatnya untuk menunjukkan kepemimpinan, kemudian mengoreksi kesalahan sejarah.”

Lalu apakah catatan perlawatan tahun 2008 Geert Wilders bersama delegasi Parlemen Belanda ke Israel dan Timur Tengah itu, dimana ia pada kunjungannya di Saudi Arabia menyimpulkan bahwa “kunjungan politik yang tak tepat ke negara Islam sebagai negara terbelakang, barbar dan fasis” , bisa dijadikan “koreksi kesalahan sejarah”, bila selama dalam perjalanannya diapun berulang kali mengajukan pertanyaan tentang “tindakan Indonesia” terhadap West Papua?

Mungkin cukup beralasan pula bagi duta besar F. Habibie, yang mengatakan dalam sebuah wawancara di koran Het Financieel Dagblad bahwa kunjungan kenegaraan pada bulan Oktober presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhyono ke Belanda sangat diragukan seandainya Partainya Wilders masuk ke dalam kabinet baru di Belanda.(miliselsinta)
◄ Newer Post Older Post ►